Jumat, 05 September 2008

Skrofuloderma

SKROFULODERMA

PENDAHULUAN

Tuberkulosis merupakan suatu penyakit infeksi yang berefek pada paru – paru, kelenjar getah bening, tulang dan persendian, kulit, usus dan organ lainnya. Tuberkulosis kutis terjadi saat bakteri mencapai kulit secara endogen maupun eksogen dari pusat infeksi. Klasifikasi tuberculosis kutis yaitu tuberculosis kutis yang menyebar secara eksogen (inokulasi tuberculosis primer, tuberculosis kutis verukosa), secara endogen (Lupus vulgaris, skrofuloderma, tuberculosis kutis gumosa, tuberculosis orifisial, tuberculosis miliar akut) dan tuberkulid (Liken skrofulosorum, tuberkulid papulonekrotika, eritema nodosum).

Salah satu tuberculosis kutis yang menyebar secara endogen adalah skrofuloderma. Skrofuloderma adalah tuberculosis kutis murni sekunder yang timbul akibat penjalaran perkontinuitatum dari jaringan atau organ di bawah kulit yang telah terserang penyakit tuberculosis misalnya tuberkulosis kelenjar getah bening, tuberculosis tulang dan keduanya atau tuberculosis epididimis atau setelah mendapatkan vaksinasi.

EPIDEMIOLOGI

Penyakit ini dapat terjadi di belahan dunia manapun, terutama di Negara – Negara berkembang dan negara tropis. Di negara berkembang termasuk Indonesia, tuberculosis kutis sering ditemukan. Penyebarannya dapat terjadi pada musin hujan dan diakibatkan karena gizi yang kurang dan sanitasi yang buruk. Skrofuloderma menyerang semua usia tetapi lebih sering terjadi pada anak – anak dan dewasa muda. Prevalensinya tinggi pada anak – anak yang mengonsumsi susu yang telah terkontaminasi Mycobacterium bovis.

ETIOLOGI

Penyebab utamanya adalah Mycobacterium tuberculosis. M. tuberculosis berbentuk batang, panjang 2-4/μ dan lebar 0,3-0,5/ μ, tahan asam, tidak bergerak, tidak membentuk spora, bersifat aerob dan suhu optimal pertumbuhan 37°C. Selain M. tuberculosis, M. bovis juga dapat menyebabkan terjadinya skrofuloderma.

PATOGENESIS

Pada penyakit ini biasanya menular melalui percikan air ludah dan oleh karenanya porte d’entrée skrofuloderma di daerah leher adalah pada tonsil atau paru, jika di ketiak maka kemungkinan porte d’entrée pada apeks pleura, jika di lipat paha porte d’entrée pada ekstrimitas bawah. Kadang – kadang ketiga tempat predileksi tersebut terserang sekaligus, yakni pada leher, ketiak dan lipatan paha.

Krofuloderma merupakan hasil dari adanya penjalaran jaringan di bawah kulit yang terserang tuberculosis, biasanya kelenjar getah bening, tetapi kadang – kadang dapat juga berasal dari tulang, atau kedua – duanya atau tuberculosis epididimis.

Tuberkulosis kelenjar getah bening tersering terjadi dan yang terkena adalah kelenjar getah bening pada supraklavikula, submandibula, leher bagian lateral, ketiak, dan lipatan paha (jarang terjadi). Fokus primer didapatkan pada daerah yang aliran getah beningnya bermuara pada kelenjar getah bening yang meradang.

Penyebaran penyakit terjadi secara cepat melalui limfatik ke kelenjar getah bening dari daerah yang sakit dan melalui aliran darah. Granuloma yang terbentuk pada tempat infeksi paru disebut ghonfocus dan bersamaan kelenjar getah bening disebut kompleks primer adalah tuberculous chancre. Bila kelenjar getah bening pecah timbul skrofuloderma. Reinfeksi eksogenous bisa terjadi meskipun jarang dan reaksinya pada host yang telah tersensitasi oleh infeksi sebelumnya berbeda dengan mereka yang belum tersensitasi.

GAMBARAN KLINIK

Skrofuloderma biasanya dimulai sebagai infeksi kelenjar getah bening (limfadenitis tuberculosis) berupa pembesaran kelenjar getah bening. Kelenjar getah bening ini konsistensinya padat pada perabaan. Mula – mula hanya beberapa kelenjar yang diserang, lalu makin banyak dan berkonfluensi. Selanjutnya berkembang menjadi periadenitis yang menyebabkan perlekatan kelenjar tersebut dengan jaringan sekitarnya. Kemudian kelenjar tersebut mengalami perlunakan yang tidak serentak, menyebabkan konsistensinya menjadi bermacam – macam, yaitu didapati kelenjar getah bening melunak dan membentuk abses yang akan menembus kulit dan pecah, bila tidak disayat dan dikeluarkan nanahnya, abses ini disebut abses dingin artinya abses tersebut tidak panas maupun nyeri tekan, melainkan berfluktuasi (bergerak bila ditekan, menandakan bahwa isinya cair). Pada stadium selanjutnya terjadi perkejuan dan perlunakan, pecah dan mencari jalan keluar dengan menembus kulit di atasnya dengan demikian membentuk fistel. Kemudian fistel meluas hingga mejadi ulkus yang mempunyai sifat khas yakni bentuknya panjang dan tidak teratur, dan di sekitarnya berwarna merah kebiruan, dindingnya tergaung, jaringan granulasinya tertutup oleh pus yang purulen, jika mongering menjadi krusta warna kuning.

Lesi dapat sembuh secara spontan namun memerlukan waktu dalam beberapa tahun dengan meninggalkan bekas luka (sikatriks) yang memanjang dan tidak teratur. Jembatan kulit (skin bridge) kadang – kadang terdapat di atas sikatriks, biasanya berbentuk seperti tali yang kedua ujungnya melekat pada sikatriks tersebut.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan bakteriologik

Pemeriksaan bakteriologik penting untuk mengetahu penyebabnya. Pemeriksaan bakteriologik menggunakan bahan berupa pus. Pemeriksaan bakteriologik yang dapat dilakukan antara lain pemeriksaan BTA, kultur dan PCR. Pemeriksaan BTA dengan menggunakan pewarnaan Ziehl Neelson mendeteksi kurang lebih 10.000 basil per mL. Pada pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction) dapat juga digunakan untuk mendeteksi M. tuberculosis. Pemeriksaan kultur menggunakan medium non sekeltif (Lowenstein-Jensen), tetapi hasilnya memerlukan waktu yang lama karena M. tuberculosis butuh waktu 3 – 4 minggu untuk berkembang biak.

2. Pemeriksaan Histopatologi

Pemeriksaan histopatologi penting untuk menegakkan diagnosis. Pada gambaran histopatologi tampak radang kronik dan jaringan nekrotik mulai dari lapisan dermis sampai subkutis tempat ulkus terbentuk. Jaringan yang mengalami nekrosis kaseosa oleh sel – sel epitel dan sel – sel Datia Langhan’s.

3. Tes Tuberkulin (Tes Mantoux)

Diagnosis pasti tuberculosis kutis tidak dapat ditegakkan berdasarkan tes tuberculin yang positif karena tes ini hanya menunjukkan bahwa penderita pernah terinfeksi tuberculosis tetapi tidak dapat membedakan apakah infeksi tersebut masih berlangsung aktif atau telah berlalu.

4. LED

Pada tuberkulosis kutis, LED mengalami peningkatan tetapi LED ini lebih penting untuk pengamatan obat daripada untuk membantu menegakkan diagnosis.

DIAGNOSIS

Diagnosis pada skrofuloderma dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran klinis dan ditunjang oleh pemeriksaan histopatologi. Selain itu dapat juga ditunjang dengan pemeriksaan bakteriologik.

DIAGNOSIS BANDING

1. Aktinomikosis

Skrofuloderma di leher biasanya mempunyai gambaran klinis yang khas sehingga tidak perlu diadakan diagnosis banding. Walaupun demikian aktinomikosis sering dijadikan diagnosis banding terhadap skrofuloderma di leher. Aktinomikosis biasanya menimbulkan deformitas atau benjolan dengan beberapa muara fistel produktif.

2. Hidradenitis supurativa

Jika skrofuloderma terdapat di daerah ketiak dibedakan dengan hidradenitis supurativa yakni infeksi oleh Piokokus pada kelenjar apokrin. Penyakit tersebut bersifat akut dan disertai dengan tanda – tanda radang akut yang jelas, terdapat gejala konstitusi dan leukositosis. Hidradenitis supurativa biasanya menimbulkan sikatriks sehingga terjadi tarikan – tarikan yang mengakibatkan retraksi ketiak.

3. Limfogranuloma venereum

Skrofuloderma yang terdapat di lipatan paha kadang – kadang mirip dengan penyakiy venerik yaitu limfogranuloma venereum (LGV). Perbedaan yang penting adalah pada LGV terdapat riwayat kontak seksual pada anamnesis disertai gejala konsitusi (demam, malese, artralgia) dan terdapat kelima tanda radang akut. Lokalisasinya juga berbeda, pada LGV yang diserang adalah kelenjar getah bening inguinal medial, sedangkan pada skrofuloderma menyerang getah bening inguinal lateral dan femoral. Pada stadium lanjut LGV terdapat gejala bubo bertingkat yang berarti pembesaran kelenjar di inguinal medial dan fosa iliaka. Pada LGV tes frei positif, pada skrofuloderma tes tuberculin positif.

PENGOBATAN

Pengobatan tuberkulosis kutis pada prinsipnya sama dengan pengobatan tuberkulosis paru, yaitu menggunakan kombinasi beberapa obat dan diberikan dalam jangka waktu tertentu. Sesuai rekomendasi WHO, untuk kasus tuberkulosis kutis maka pengobatan yang diberikan dimasukkan dalam kategori III (2HRZ 6HE, 2HRZ4HR, 2HRZ4H3R3)

Kriteria penyembuhan pda skrofuloderma ialah semua fistel dan ulkus telah menutup, seluruh kelenjar getah bening mengecil (kurang dari 1 cm dab berkonsistensi keras), dan sikatriks yang semula eritematosa menjadi tidak eritema lagi. LED dapat dipakai sebagai pegangan untuk menilai penyembuhan pada penyakit tuberculosis. Jika terjadi penyembuhan, LED akan menurun dan menjadi normal.

Pengobatan topical pada pasien tuberculosis kutis tidak sepenting pengobatan sistemik. Jika basah, kompres dengan kalium permanganate 1/50.000. Jika kering diberikan salep antibiotic.

Terapi pembedahan berupa eksisi dapat dilakukan. Terapi pembedahan pada skrofuloderma biasanya diindikasikan untuk kasus :

- terapi dengan antituberkulosis gagal

- penderita skrofuloderma disertai penurunan kekebalan tubuh

- penderita skrofuloderma berulang

- penderita skrofuloderma disertai dengan penyakit yang berat.

PROGNOSIS

Lesi dapat sembuh secara spontan namun memerlukan waktu dalam beberapa tahun dengan meninggalkan bekas Lukas (sikatriks) yang memanjang dan tidak teratur. Pada umumnya selama pengobatan memenuhi syarat seperti yang telah diseburkan, prognosisnya baik.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Nascimento LV. Mycobacteria. In: Tyring SK, Lupi O, Hengge UR, editors. Tropical dermatology. China: Elsevier Churchill Livingstone; 2006. p. 253-4.
  2. Suhariyanto B, Prasetyo R. Terapi alternative pada pengobatan skrofuloderma. Berkala ilmu penyakit kulit & kelamin airlangga periodical of dermato-venerology 2006 Agust 2:18:133-5.
  3. Tappeiner G, Wolff Klaus. Tuberculosis and other mycobacterium infection. In: Feedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, editors. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 6th ed. New York: McGraw-Hill; 2003. p. 1933-46.
  4. Djuanda A. Tuberkulosis kulit. Dalam: Djuanda A, Djuanda S, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 4th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI;1999. p. 64-72.
  5. Meltzer MS. Cutaneous tuberculosis [Online] 2006 Nov 20 [cited 2007 March 7];[10 screens]. Available from: URL:http://www.eMedicine.com.
  6. Ardiana D, Wuryaningrum W, Widjaja E. Skrofuloderma pada dada. Berkala ilmu penyakit kulit & kelamin airlangga periodical of dermato-venerology 2002 Apr 1:14:101-5.
  7. Siregar HS. Atlas berwarna saripati penyakit kulit. Ed.2. Jakarta: EGC;2004.
  8. Silva MR, Catro MCR. Mycobacterium infection. In: Bologna J, Jorizzo J, Rapini RP, editors. Dermatology. Vol.1. London: Mosby;2003. p. 1145-58.

1 komentar:

bunda mengatakan...

Dok, apakah benar skrofuloderma pd getah bening di leher mirip dg gejala leukimia?