Selasa, 21 April 2009

PTG


PENYAKIT TROFOBLAS GANAS

PENDAHULUAN
Yang disebut sebagai penyakit trofoblas adalah penyakit yang mengenai sel – sel trofoblas. Di dalam tubuh wanita, sel trofoblas hanya ditemukan bila wanita itu hamil. Seringkali perkembangan kehamilan mendapat gangguan yang dapat terjadi pada berbagai tahap, tergantung pada tahap gangguan mana itu terjadi, maka hasil kehamilan dapat berupa keguguran, kehamilan ektopik, prematuritas, kematian janin dalam rahim atau kelainan kongenital. Kesemuanya merupakan kegagalan fungsi reproduksi. Demikian pula dengan penyakit trofoblas, pada hakekatnya merupakan kegagalan reproduksi. Di sini kehamilan tidak berkembang menjadi janin yang sempurna melainkan menjadi keadaan patologik yang terjadi pada minggu – minggu pertama kehamilan berupa degenerasi hidropik dari jonjot jorion sehingga menyerupai gelembung yang disebut mola hidatidosa. Pada umumnya penderita akan menjadi baik kembali, tetapi diantaranya yang kemudian mengalami degenerasi keganasan berupa koriokarsinoma.1
Penyakit trofoblas ganas merupakan suatu tumor ganas yang berasal dari sito dan sinsiotrofoblas yang menginvasi miometrium, merusak jaringan di sekitarnya dan pembuluh darah sehingga menyebabkan perdarahan.2 Penyakit trofoblas gestasional merupakan sebuah spektrum tumor-tumor terkait, termasuk mola hidatidosa, mola invasif, placental-site trophoblastic tumor dan koriokarsinoma, yang memiliki berbagai variasi lokal invasi dan metastasis. Menurut FIGO,2006 istilah Gestational trophoblastic neoplasia (GTN) atau Penyakit tropoblas ganas (PTG) menggantikan istilah - istilah yang meliputi chorioadenoma destruens, metastasizing mole, mola invasif dan koriokarsinoma.3
INSIDENS DAN EPIDEMIOLOGI
Insidens terjadi penyakit trofoblast di Amerika Serikat yang pernah dilaporkan antara 1 dari 923 dan dari 1 dari 1724 kehamilan. Faktor risiko terbanyak adalah riwayat kehamilan mola sebelumnya dan umur < 15 tahun atau > 40 tahun.4
Di Amerika kejadian mola terdapat 1 : 600 abortus dan 1 dalam 1500 kehamilan. Sekitar 20% berkembang menjadi keganasan dan memerlukan pemberian kemoterapi setelah evakuasi mola, sebagian besar merupakan proliferasi mola nonmetastasis atau mola invasif, tetapi dapat juga berkembang menjadi khoriokarsinoma dan metastasis. Khoriokarsinoma gestasional terjadi 1 dalam 20.000-40.000 kehamilan, sekitar 50% setelah kehamilan aterm, 25% setelah kehamilan mola. Walaupun lebih jarang, tumor trofoblas pada plasental site dapat berkembang dari apapun jenis kehamilan.
Penyakit ini sering terjadi pada usia 14 – 49 tahun dengan rata – rata 31,2 tahun. Risiko terjadinya PTG yang non metastase sekitar 75% didahului oleh molahidatidosa dan sisnya abortus, sedangkan risiko PTG yang metastasis 50% didahului oleh molahidatidosa, 25% oleh abortus, 22% oleh kehamilan aterm dan 3% oleh kehamilan ektopik. Pada jenis invasif mola, 12,5% berasal dari mola komplit dan 1,5% berasal dari mola parsial. Pada khoriokarsinoma, 1,7% berasal dari mola komplit sedangkan 0,2% dari mola parsial.2
BIOLOGI TROFOBLAS 5
Dari semua komponen plasenta, trofoblas adlah komponen yang struktur, fungsi dan perkembangannya paling bervariasi. Daya invasinya penting agar blastokista dapat melekat ke desidua rongga uterus, perannya dalam pemberian nutrisi konseptus tercermin dri namanya, dan fungsinya sebagai organ endokrin pada kehamilan manusia penting bagi adaptasi fisiologis ibu dan pemeliharaan kehamilan.
Secara morfologis, trofoblas bersifat seluler atau sinsitial dan mungkin tampak sebagai sel – sel uninuklear atau sel raksasa multinuklear. Saat implantasi, sebagian dari sitotrofoblas yang paling dalam atau sel Langhans yang bersambungan dengan endometrium dan menginvasinya, menyatu untuk menjadi suatu membran multinuklear amorf yang kontinu dan tidak terputus oleh ruang antarsel (sinsitium). Tidak terdapat sel individual yang ada hanya suatu lapisan kontinu, sehingga disebut sebagai sinsitiotrofoblas atau snsitium tunggal.
Sitotrofoblas adalah sel germinatum, sedngkan sinsitium adalah komponen sekretorik yang berasal dari sitotrofoblas. Dengan demikian, sitotrofoblas adalah progenitor selular sinsitiotrofoblas. Setiap sitotrofoblas memiliki karakteristik berbatas tegas dan berinti tunggal dan sering dijumpai mitosis di antara sitotrofoblas. Proses invasi trofoblas ini difasilitasi oleh degradasi matriks ekstrasel endometrium/desidua dan dikatalisis oleh aktivator plasminogen tipe urokinase, reseptor aktivator plasminogen urokinase dan metaloproteinase yang dihasilkan oleh sitotrofoblas tertentu pada berbagai tahap implantasi / plasentasi. Fungsi sitotrofoblas menginvasi endometrium ini amat mirip dengan apa yang terjadi pada metastasis sel ganas.
ETIOLOGI 2
Etiologi terjadinya penyakit trofoblas ganas (PTG) belum jelas diketahui, namun bentuk keganasan tumor ini merupakan karsinoma epitel korion meskipun pertumbuhan dan metastasisnya menyerupai sarkoma.
PATOGENESIS 1,2
1. Teori missed abortion.
Mudigah mati pada kehamilan 3-5 minggu (missed abortion). Karena itu terjadi gangguan peredaran darah sehingga terjadi penimbunan cairan dalam jaringan mesenkim dan villi dan akhirnya terbentuklah gelembung-gelembung. Menurut Reynolds, kematian disebabkan kekurangan gizi berupa asam folik dan histidine pada kehamilan hari ke 13 dan 21, menyebabkan gangguan angiogenesis.
2. Teori Neoplasma, dari Park
Sel-sel tropoblas yang abnormal mempunyai fungsi yang abnormal pula, dimana resorpsi cairan yang berlebihan ke dalam villi sehingga timbul gelembung, menyebabkan gangguan peredaran darah dan kematian mudigah.
Penyakit trofoblas ganas dibedakan atas 2, yaitu:2
1. Penyakit trofoblas ganas non-metastatik
A. Mola invasif (korioadenoma destruens)
B. Placental site trophoblastic tumor
2. Penyakit trofoblas ganas metastatik


MOLA INVASIF1
Ditemukan sekitar 15% sesudah pengeluaran mola dan lebih rendah pada pasca kehamilan normal. Gejala-gejala klinis yang dapat ditemukan ialah:
• Perdarahan vaginal yang tidak teratur
• Adanya kista teka lutein
• Subinvolusi uterus atau pembesaran asimetris
• Sel-sel tumor trofoblas dapat menyebabkan perforasi miometrium sehingga terjadi perdarahan intraperitoneal
• Infeksi tumor yang nekrosis dapat menyebabkan sekret purulen dan nyeri pelvis akut.
PLACENTAL SITE TROPHOBLASTIC TUMOR (PSTT) 6
PSTT merupakan tumor yang jarang yang berasal dari implantasi plasenta. Sel yang berasal dari tumor tersebut menginvasi miometrium dan tumbuh di antara sel otot polos dan kemudian menginvasi miometrium dan pembuluh darah. Gambaran histologinya adalah tidak adanya vili dan proliferasi sitotrofoblas. Gejala yang paling serin gmuncul adalah perdarahan. PSTT tidak sensitif terhadap pemberian kemoterapi, tetapi untungnya jarang metastasis keluar uterus. Oleh karena itu histerektomi adalah pilihan terapi untuk PSTT.
KORIOKARSINOMA
Koriokarsinoma merupakan tumor ganas yang mengalami nekrosis yang berasal dari jaringan trofoblas setelah terjadi gestasi. Koriokarsinoma menginvasi dinding uterus dan pembuluh darah vena sehingga menyebabkan destruksi jaringan uterus, nekrosis dan perdarahan. Tumor ini biasa bermetastasis dan menyebar secara hematogen ke paru – paru, vagina, pelvis, otak, hati, intestinal dan ginjal. Karakteristiknya adalah massa tumor yang tumbuh dengan cepat dan menginvasi miometrium dan pembuluh darah sehingga menyebabkan perdarahan dan nekrosis. Jika tumor menginvasi endometrium, kemudian terjadi perdarahan, dan infeksi, jaringan tumor kadang – kadang mengalami perlengketan dengan peritoneum.
Pada pembagian lain secara klinis PTG di bagi 2, yaitu:
1. PTG terdapat hanya dalam uterus invasif mola
Adalah tumor atau suatu proses seperti tumor yang menginvasi miometrium dengan hiperplasia trofoblas disertai struktur vili yang menetap. Terminologi lain untuk keadaan ini yang tidak lagi dipakai ialah malignant mola, mola detruens, korio adenoma detruens.
2. PTG meluas keluar uterus koriokarsinoma
a. Gestasional koriokarsinoma adalah karsinoma yang terjadi dari sel-sel trofoblas dengan melibatkan sitotrofoblas dan sinsiotrofoblas. Hal ini biasa terjadi dari hasil konsepsi yang berakhir dengan lahir hidup, lahir mati (still birth), abortus, kehamilan ektopik, molahidatidosa atau mungkin juga oleh sebab yang tidak diketahui.
b. Non gestasional koriokarsinoma adalah suatu tumor ganas trofoblas yang terjadi tanpa didahului oleh suatu fertilisasi, tetapi berasal dari germ sel ovarium. Brewer mengatakan bahwa non gestasional koriokarsinoma juga dapat merupakan bagian teratoma. Oleh International Union Against cancer (IUCR) diadakan klasifikasi sederhana dari penyakit trofoblas, yang mempunyai keuntungan bahwa angka yang diperoleh dari berbagai negara di dunia dapat dibandingkan.
Klasifikasi itu adalah:
1. Ada hubungan dengan kehamilan
2. Tidak ada hubungan dengan kehamilan
a. Diagnosis Klinik
Non metastasis
Metastasis
- Lokal (pelvis)
- Di luar pelvis
b. Diagnosis histologi
• PTG jenis villosium
• PTG jenis non villosium
• PTG jenis yang tidak jelas
c. Diagnosis morfologi
• Molahidatidosa
- invasif
- non invasif
• Koriokarsinoma
• Tidak dapat ditentukan (unclassified)
Adalah PTG yang disgnosis morfologinya tidak ada, baik dari autopsi, operasi atau kerokan, akan tetapi diagnosis dibuat dengan cara-cara lain (hormonologik).
Klasifikasi non gestational trophoblastic disease asal dan perkembangan dari germ cell tumor ini banyak mengandung pertentangan, akan tetapi pendapat yang banyak dianut aalah seperti yang dianjurkan Tailum:
1. Germ cell: Seminoma, Dysgerminoma, Tumor of potensial cells
2. Extra embryonal carcinoma
3. Extra embryonal structure
4. Embryonal carcinoma
5. Embrionic ectoderm, mesoderm, endoderm
6. Endodermal sinus tumor: choriocarcinoma, teratoma.3

SISTEM KLASIFIKASI
Beberapa sistem klasifikasi sudah digunakan. Sistem klasifikasi klinik yang tradisional telah digunakan di Amerika Serikat dan klasifikasi metastasis penyakit ini berdasarkan prognosis. Tetapi pada bulan Maret 2002, The International Federation of Gynecology and Obstetric (FIGO) merevisi sistem klasifikasi PTG dengan mengkombinasikan sistem klasifikasi yang lama dengan sistem skor faktor risiko WHO. 7
Sistem Klasifikasi PTG yang lama 2,4,6
PTG dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu metastasis dan non metastasis. Non metastasis bila tidak penyebaran penyakit tersebut keluar uterus, sedangkan metastasis bila meluas keluar uterus. Klasifikasi metastasis dibagi dua yaitu prognosis baik dan buruk berdasarkan faktor lamanya gejala, kadar β-HCG, ada tidaknya metastasis ke otak/hepar, jenis kehamilan dan hasil tindakan kemoterapi.
1. Non – Metastases : Tidak jelas penyakit di luar uterus
2. Metastases
- Prognosis Baik :
1. Lamanya gejala < 4 bulan
2. Kadar HCG rendah < 40.000 mIU/ml serum β-HCG
3. Tidak ada metasis ke otak atau hepar
4. Kadar β-HCG < 10.000 IU/24 jam urin
5. Belum mendapatkan kemoterapi
6. Bukan kehamilan uterus
 Prognosis Buruk :
1. Lamanya gejala > 4 bulan
2. Kadar HCG rendah > 40.000 mIU/ml serum β-HCG
3. Kadar β-HCG > 10.000 IU/24 jam urin
4. Ada metasis ke otak atau hepar
5. Pernah mendapatkan kemoterapi
6. Kehamilan uterus sebelumnya

Stadium Penyakit Trofoblast Ganas menurut The International Federation of Gynecology and Obstetric (FIGO) yaitu :(Staging Booklet)
Stadium I Tumor trofoblastik gestasional terbatas pada korpus uteri
Stadium II Tumor trofoblastik gestasional meluas ke adneksa atau vagina, namun terbatas pada struktur genitalia.
Stadium III Tumor trofoblastik gestasional bermetastasis ke paru, dengan atau tanpa metastasis di genitalia interna.
Stadium IV Bermetastasis ke tempat lain

GEJALA KLINIK
Gejala yang paling banyak ditemukan adalah adanya perdarahan ireguler yang berhubungan dengan subinvolusi uterine. Perdarahan bisa intermitent atau terus berlanjut, dan tiba – tiba. Kadang – kadang perdarahannya bersifat masif. Perforasi uterin disebabkan karena adanya pertumbuhan invasif trofoblast sehingga menyebabkan perdarahan intraperitoneal. Pada beberapa kasus, wanita disertai engan adanya metastasis di vagina atau vulva. 5 Perdarahan yang tidak teratur setelah berakhirnya suatu kehamilan dan dimana terdapat subinvolosio uteri juga perdarahan dapat terus menerus atau intermiten dengan perdarahan mendadak dan terkadang masif.
Pada pemeriksaan ginekologi ditemukan uterus membesar dan lunak. Kista tekalutein bilateral. Lesi metastasis di vagina dan organ lain. Perdarahan karena perforasi uterus atau lesi metastasis ditandai dengan: nyeri perut, batuk darah, melena, dan peningkatan tekanan intrakranial berupa sakit kepala, kejang, dan hemiplegia. Kadar β hCG paska mola setelah menurun, tidak menurun malahan dapat meningkat lagi atau titer β hCG yang meninggi setelah terminasi kehamilan, mola atau abortus. Pemeriksaan foto thorax dapat ditemukan adanya lesi yang metastasis.5 Pada sediaan histopatologis dapat ditemukan villus namun demikian dengan tidak memperlihatkan gambaran patologik tidak dapat menyingkarkan suatu keganasan.3

DIAGNOSIS 8
Diagnosis penyakit trofoblas ganas secara klinis ditegakkan berdasarkan:
ANAMNESIS
• Perdarahan yang terus menerus setelah evakuasi mola atau kehamilan sebelumnya
• Bila terjadi perforasi uterus, ditemukan adanya keluhan nyeri perut
• Bila ada lesi metastasis, maka dapat ditemukan gejala hemptoe, sakit kepala, kejang, dan hemiplegia.
PEMERIKSAAN FISIS
Pada pemeriksaan fisis didapatkan adanya abortus spontan.(Pocket Guide)
• Uterus besar dan irreguler
• Dapat terlihat adanya lesi metastasis di vagina atau organ lain
• Ditemukan kista lutein bilateral yang persisten
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada pemeriksaan penunjang yaitu USG didapatkan adanya gambaran echo difuse typical. Dan pada pemeriksaan laboratorium didapatkan adanya peningkatan kadar B-HCG.4
Prosedur diagnosis untuk menentukan stadium dari PTG dimulai dengan pemeriksaan serum β-HCG dan foto thoraks untuk mendeteksi adanya metastasis ke paru – paru. Jika foto thoraks normal, maka diagnosis tumor non metastasis dapat dibuat. Jika ada metastasis di paru – paru, maka CT scan kepala dan abdomen dapat dianjurkan. Jika ada perdarahan gastrointestinal maka pemeriksaan endoskopi untuk saluran GIT atas dan bawah diindikasikan. Pemeriksaan arteriogram juga bermanfaat. Jika ada hematuri, pemeriksaan IVP dan sistoskopi dapat dilakukan.9


PENANGANAN
Prinsip dasar penanganan penyakit trofoblas ganas adalah kemoterapi dan operasi. Indikasi kemoterapi yaitu:
1. Meningkatnya β hCG setelah evakuasi
2. Titer β hCG sangat tinggi setelah evakuasi
3. β hCG tidak turun selama 4 bulan setelah evakuasi
4. Meningginya β hCG setelah 6 bulan setelah evakuasi atau turun tetapi lambat
5. Metastasis ke paru-paru, vulva, vagina kecuali kalau β hCGnya turun
6. Metastasis ke bagian organ lainnya (hepar, otak)
7. Perdarahan vaginal yang berat atau adanya perdarahan gastrointestinal
8. Gambaran histologi koriokarsinoma
Operatif merupakan tindakan utama dalam penanganan dini PTG, walaupun tumor sudah lama bila masih terlokalisir di uterus tindakan histerektomi baik dilakukan. Pasien-pasien dengan perdarahan pervaginam yang terus menerus, setelah abortus, mola, dan persalinan yang normal dengan uterus sebesar kehamilan ≤ 12 minggu dan tidak ruptur operasinya diutamakan histerektomi. Bila penyakit telah meluas maka histerektomi dilakukan hanya atas dasar perdarahan dari uterus yang hebat atau resisten terhadap kemoterapi. Bila tergolong risiko rendah, maka diberikan kemoterapi tunggal, sedangkan risiko tinggi diberikan kemoterapi kombinasi.
Penanganan yang non metastase diberikan kemoterapi tunggal dengan pemberian metotreksat 30 mg/m2 intramuscular setiap minggu. Dapat juga dilakukan histerektomi bila masih ingin hamil.4
Dikatakan risiko rendah bila pada sistem prognosis WHO nilai skornya < 7. Risiko rendah ditangani dengan pemberian kemoterapi tunggal yaitu pemberian metotreksat. Bila terdapat resistensi terhadap kemoterapi dosis tunggal, maka kemoterapi kombinasi sebaiknya diberikan. Histerektomi mungkin bermanfaat untuk mengeluarkan fokus penyakit yang resistensi dalam uterus.

Kemoterapi tunggal diberikan pada kasus non metastasis atau keganasan risiko rendah. Metotreksat maupun obat lainnya dapat melawan tumor ganas terutama Actinomycyin -D diberikan secara kuratif. Metotreksat yang digunakan dengan hasil yang baik ketika diberikan secara oral, infus IV maupun melalui pemberian secara injeksi intramuskular. Actinomycin-D dosis tunggal juga mempunyai efektivitas yang tinggi pada wanita dengan non metastasis. Pada beberapa kasus, misalnya disertai dengan metastasis ke otak, kemoterapi diberikan bersama radioterapi. 5
Risiko tinggi bila nilai skor > 7 dan diberikan kemoterapi kombinasi yaitu EMA-CO (Etoposide, metotreksat, vincristin dan siklopospamid) atau dapat diberikan MAC (metotreksat, dactinomicin dan cytoxan atau klorambucil).10
PROGNOSIS
Angka kesembuhan pada pengobatan PTG sekarang ini lebih dari 90%. Keberhasilan ini karena efektif dan sensitifnya pengukuran tumor marker Beta HCG, sensitifnya sel tumor terhadap kemoterapi, meningkatnya cara – cara mengidentifikasi factor – factor risiko tinggi, dan agresifnya penggunaan kemoterapi, operasi dan radiasi pada kasus – kasus dengan risiko tinggi.2
Dengan pengawasan yang ketat dan pengobatan yang adekuat beberapa klinik di luar negeri dapat mencapai derajat penyembuhan hampir 100% kecuali untuk stadium IV. Makin lama periode laten dan makin luas metastasis, makin buruk prognosisnya. Bila seseorang telah sembuh dari koriokarsinoma kemudian hamil maka hasol kehamilannya tidak akan terpengaruh oleh pembesaran sitostatika sebelumnya.1
Makin dini diagnosis dibuat dan makin dini pengobatan dimulai makin baik prognosisnya. Prognosis penyakit trofoblas ganas jenis villosum lebih baik daripada jenis non villosum.
Prognosis memburuk dijumpai pada:
 Masa laten antara mola dan timbulnya keganasan panjang
 β hCG yang tinggi
 Pengobatan tidak sempurna
 Adanya metastasis pada otak dan hepar
 Daya tahan tubuh penderita
 Diagnosis terlambat dibuat dengan akibat terapi terlambat diberikan.
FOLLOW UP
Pasien-pasien penyakit tropoblas ganas dianjurkan mengikuti jadwal berikut. Pasien harus dievaluasi selajutnya karena adanya risiko kambuh.
1. Pemeriksaan kadar β hCG tiap minggu sampai didapatkan negatif dalam 3 minggu.
2. Pemeriksaan kadar β hCG tiap bulan sampai didapatkan negatif dalam 12 bulan (non metastatik atau penyakit dengan metastatik risiko rendah atau dalam 24 bulan (metastasis risiko tinggi).
3. Kontrasepsi yang efektif
4. Pemeriksaan radiologi atas indikasi (misalnya: CT thoraks untuk melihat metastasis paru, MRI kepala untuk melihat metastasis serebral.

Resusitasi Luka Bakar

RESUSITASI PASIEN LUKA BAKAR

Pendahuluan
Luka bakar merupakan suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia yang bersifat asam atau basa kuat, listrik, petir, radiasi dan akibat suhu yang sangat rendah (frost bite).
Permasalahan pada luka bakar sangat kompleks sehingga dalam penanganannya membutuhkan penangan multidisipliner dan atau interdisipliner. Dalam perjalanan penyakitnya dibedakan atas 3 fase yaitu fase awal, (akut,syok), fase setelah syok berakhir, dan fase lanjut.
Penanganan pasien luka bakar sama halnya dengan penanganan pada pasien pasien lain yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi penderita serta mencegah kerusakan dan komplikasi yang lebih berat.

Definisi
Luka bakar merupakan suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia yang bersifat asam atau basa kuat, listrik, petir, radiasi dan akibat suhu yang sangat rendah (frost bite).1 sehingga dapat menyebabkan kematian, atau akibat lain yang berkaitan dengan problem fungsi maupun estetik.2

Anatomi Kulit 4
Kulit merupakan organ tubuh yang terletak paling luar dan merupakan alat proteksi terhadap organ-organ yang terdapat di bawahnya dan membatasinya dari lingkungan hidup manusia di sekitarnya.
Luas kulit orang dewasa 1,5 m2 dengan berat kira-kira 15% dari berat badan manusia dan mempunyai tebal yang bervariasi antara ½ - 3 mm.
Kulit sangat kompleks, elastis dan sensitif, bervariasi pada keadaan iklim, umur, seks, ras, dan juga bergantung pada lokasi tubuh.
Secara histopatologik lapisan kulit tersusun atas tiga lapisan utama yaitu lapisan epidermis atau kutikel, lapisan dermis (korium, kutis vera, true skin), dan lapisan subkutis (hipodermis)
Lapisan epidermis sendiri terdiri dari 5 lapisan (stratum) berturut-turut dari atas ke bawah : stratum corneum, stratum lucidium,stratum granulosum, stratum spinosum (spongiosum = princkle cell layer), stratum basale (germinativum).
Lapisan dermis adalah lapisan di bawah epidermis yang jauh lebih tebal daripada epidermis. Lapisan ini terdiri atas lapisan-lapisan elastik dan fibrosa padat dengan elemen-elemen seluler dan folikel rambut dibagi menjadi 2 bagian yaitu stratum Papilaris dan stratum Retikularis
Lapisan sub kutis adalah kelanjutan dermis terdiri dari jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak di dalamnya. Lapisan sel-sel lemak disebut Panikulus Adiposa, berfungsi sebagai cadangan makanan. Di lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh darah dan pembuluh getah bening.

Faal Kulit 4
Kulit merupakan suatu organ dan mempunyai fungsi tersendiri. Fungsi utama kulit yaitu sebagai proteksi, absorbsi, eksresi, persepsi, pengatur suhu tubuh, (thermoregulator), membentuk pigmen membentuk vitamin D, dan keratinisasi. Dari sekian banyak fungsi yang dimiliki oleh kulit, maka dengan muda dapat dimengerti bahwa kerusakan pada kulit akibat luka bakar akan mengakibatkan berbagai kelainan yang akan lebih banyak dijelaskan dalam referat ini.

Patofisiologi Luka Bakar
Dengan terjadinya luka bakar, maka akan terjadi kehilangan kulit yang memiliki fungsi sebagai barier sehingga luka sangat muda terinfeksi, terjadi penguapan cairan tubuh yang berlebihan yang disertai pengeluaran protein dan energi yang akhirnya terjadi gangguan metabolisme. 2
Luka bakar pertama kali menyebabkan syok karena kaget dan kesakitan. Pembuluh kapiler yang terpajan suhu tinggi rusak dan permeabilitas meninggi. Sel darah yang ada di dalamnya ikut rusak sehingga dapat terjadi anemia. Meningkatnya permeabilitas menyebabkan edema dan menimbulkan bulla dengan membawa serta elektrolit. Hal ini menyebabkan berkurangnya volume cairan intravaskuler. 1,6
Telah disebutkan diatas bahwa luka bakar mempunyai 3 fase dimana masing masing fase memiliki proses perjalanan penyakit yang masing-masing berbeda.
Fase awal berupa cedera inhalasi (gangguan saluran pernapasan), gangguan mekanisme bernapas, gangguan sirkulasi (keseimbangan cairan elektrolit, syok hipovolemia). Cedera inhalasi menjelaskan perubahan mukosa saluran napas akibat adanya paparan berupa iritan dan menimbulkan manifestasi klinik dengan gejala distress pernapasan. Reaksi yang timbul berupa inflamasi akut dengan edema dan hipersekresi mukosa saluran napas. Edema mukosa masif di saluran napas bagian atas menyebabkan obstruksi lumen sehingga menyebabkan sumbatan total saluran napas. Mekanisme obstruksi yang lain disebabkan oleh percampuran epitel mukosa yang nekrosis dengan sekret kental yang mengadung banyak fibrin.Inflamasi pada saluran napas bagian bawah berhubungan dengan peranan sitokin dan radikal bebas. Inflamasi yang terjadi menyebabkan lokalisasi netrofil dan leukosit PMN. Fibrin yang menumpuk pada mukosa alveoli membentuk membran hialin yang mengakibatkan gangguan difusi dan perfusi oksigen sehingga menyebabkan ARDS. 1
Terjadinya gangguan mekanisme bernapas berhubungan dengan adanya eskar yang melingkar di permukaan rongga toraks yang menyebabkan gangguan ekspansi rongga thoraks pada saat inspirasi.1
Perubahan yang lain juga berupa perubahan bentuk sel-sel endotel kapiler (epitel tunika intima) akibat perubahan tekanan hidrostatik dan onkotik di ruang intravaskuler. Terjadi ekspansi cairan intravaskuler, plasma (protein) elektrolit ke ruang intersisiel. Terjadi penimbunan cairan di jaringan intersisiel sehingga keseimbangan tekanan hidrostatik dan onkotik terganggu dan juga menyebabkan gangguan perfusi metabolisme seluler (syok jaringan). 1,7
Vasokonstriksi perifer luas akan meyebabkan berbagai gangguan berupa Systemic Inflamatory Respone Syndrome (SIRS) dan Multi-system Organ Dysfunction Syndrome (MODS). Gangguan ini terjadi didahului oleh terjadinya nekrosis sehingga terjadi pelepasan toksin (burn toxin, suatu lipid protein kompleks). Organ yang terlibat dalam hal ini adalah hepar, saluran cerna bagian atas (gaster,duodenum), ginjal, dan otot. 1,2
SIRS ditandai dengan gejala berupa ditemukannya dua atau lebih gejala berikut ; Suhu lebih dari 380C atau kurang dari 360C, takikardi, takipnu, dan jumlah leukosit lebih dari 12.000 sel per mm2 atau kurang dari 4.000 sel per mm3 atau > 10 bentuk immatur 1
Gejala kegagalan sirkulasi yang terjadi di otak berupa disorientasi, gelisah, dan penurunan kesadaran. Sedangkan akibat konstriksi pembuluh perifer menyebabkan penurunan suhu core dan permukaan, urine dan gangguan sistem pencernanan. Gejala kompensasi yang dapat diamati adalah pernapasan yang cepat dan dangkal, palpitasi dan takikardi.1
Cedera panas menyebabkan kerusakan pada jaringan dapat dibedakan atas:
1. Zona koagulasi : daerah yang langsung mengalami kontak dengan sumber panas, berlokasi pada daerah sentral luka bakar yang mengalami nekrosis karena lamanya terpajan. Sel-sel di daerah ini mengalami kontak yang paling dekat dengan sumber panas.
2. Zona statis: daerah dimana terjadi "no flow phenomena" oleh karena adanya perubahan atau kerusakan endotel, trombosit dan leukosit di pembuluh kapiler yang menyebabkan gangguan sirkulasi mikro dan perfusi ke sel atau jaringan. Daerah ini dapat selamat pada kondisi yang ideal, tetapi sering nekrosis dalam 24-¬48 jam setelah kejadian.
3. Zona hiperemi : daerah yang mengalami vasodilatasi, gangguan permeabilitas kapiler, edema dan distribusi sel radang akut. Daerah ini umumnya tidak beresiko tinggi untuk terjadi nekrosis.1,2,3,7
Klasifikasi Luka Bakar (1.2,7)
Berdasarkan kedalaman kerusakan jaringan :
1. Luka bakar derajat I
Kerusakan terbatas pada lapisan epidermis (superfisial). tampak kulit kering, hiperemis berupa eritema, tidak dijumpai bulla, terasa nyeri. Penyembuhan terjadi secara spontan dalam 5-10 hari.
2. Luka bakar derajat II
Kerusakan meliputi epidermis dan sebagian dermis, berupa reaksi inflamasi disertai proses eksudasi. Dijumpai bulla, terasa nyeri, dasar luka berwarna merah atau pucat, sering terletak lebih tinggi di atas kulit normal.
Derajat II dangkal (superficial) ; Mengenai bagian superfisial dermis. Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea masih utuh, penyembuhan terjadi secara spontan dalam waktu 10-14 hari.
Deraiat II dalam (deep) ; mengenai hampir seluruh bagian dermis. Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea, sebagian masih utuh. Penyembuhan biasanya dalam waktu lebih dari satu bulan.
3. Luka bakar derajat III
Meliputi seluruh tebal dermis dan lapisan yang lebih dalam. Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea mengalami kerusakan. Tidak dijumpai bulla, kulit yang terbakar barwarna abu-abu dan pucat. Karena kering, letaknya lebih rendah dibandingkan dengan kulit sekitar. Terjadi koagulasi protein pada epidermis dan dermis yang dikenal sebagai eskar. Tidak dijumpai rasa nyeri dan hilang sensasi. Penyembuhan terjadi lama karena tidak ada proses epitelisasi spontan dari dasar luka, tepi luka, maupun apendiks kulit.

Luas Luka Bakar (1,2,6)
Luasnya luka bakar dinyatakan dalam persen terhadap luas seluruh tubuh. Pada orang dewasa digunakan rule of nine dari Wallace, yaitu kepala dan leher, dada, punggung & perut, pinggang dan bokong, ekstremitas atas kanan, ekstremitas atas kiri, paha kanan, paha kiri, tungkai dan kaki kanan serta tungkai dan kaki kiri masing-masing 9% sisanya 1% pada daerah genitalia. Sedangkan pada bayi digunakan rumus 10 dan pada anak digunakan rumus 10-15-20. Untuk anak kepala dan leher 15% badan depan dan belakang masing-masing 20 %, ekstremitas atas kanan dan kiri masing-masing 10%, ekstremitas bawah kanan dan kiri masing-masing 15 %. telapak tangan penderita dianggap 1 %.

Resusitasi (1,5,7)
Sebelum menangani resusitasi pada luka bakar, maka perlu untuk diketahui mengenai anatomi cairan tubuh. Secara garis besar cairan tubuh terbagi atas 3 yaitu cairan intraseluler (40%), cairan ektraseluler (20%), dan cairan transeluler (2%). Cairan ektraseluler terbagi atas cairan interstisial 15% dan intravaskuler 5 %. Cairan yang digunakan untuk resusitasi dikenal ada 3 kelompok besar yaitu larutan Hipertonik (Gelofusin, Dextran, dll), Isotonik (RL, NaCL 0,9%) dan Hipotonik. (Dex 5%, ½ DAD, dll)

Resusitasi cairan bertujuan mengupayakan sirkulasi yang dapat menjamin kelangsungan perfusi, sehingga oksigenasi jaringan terpelihara. Dengan demikian, dapat mencegah kerusakan yang lebih lanjut
Secara umum, masalah yang sering timbul berkenaan dengan resusitasi cairan ini terutama menyangkut beberapa hal, antara lain menentukan jenis cairan yang diberikan dan menentukan jumlah kebutuhan cairan.
Ada dua jenis cairan yang umum digunakan dalam prosedur resusitasi, yaitu koloid dan kristaloid.
Pada kasus luka bakar, terjadi kehilangan cairan di kompar¬temen intersisiel secara masif dan bermakna, sehingga dalam 24 jam pertama resusitasi dilakukan dengan pemberian cairan kristaloid.

Berdasarkan kondisi volume cairan pada kedua kompartemen dengan berbagai kondisi klinik sebagaimana digambarkan pada diagram di atas dapat ditentukan jenis cairan yang diperlukan untuk resusitasi.
Kristaloid merupakan cairan isotonik yang aman dan efektif digunakan untuk tujuan resusitasi kasus hipovolemia, karena cairan ini memiliki osmolaritas sesuai dengan cairan tubuh dan tidak mempengaruhi efek osmotik cairan, dan cenderung meninggalkan kompartemen intravaskular (mengisi kompartemen intersisiel).
Berdasarkan hal tersebut, maka partisi cairan dan kadar elektrolitnya serupa dengan cairan tubuh 75% cairan ektravaskuler dan 25% cairan intravaskuler. Sehingga secara prinsipil, cairan. kristaloid digunakan untuk melakukan resusitasi cairan pada kompartemen ekstravaskuler.
Cairan koloid adalah larutan dengan berat molekul tinggi, sehingga mempengaruhi efek osmotiknya. Karena sifat semipermeabilitas kapiler, maka koloid cenderung untuk tetap berada di dalam kompartemen intravaskuler; oleh karenanya hanya sejumlah kecil koloid diperlukan dalam memelihara volume cairan di kompartemen intravaskuler. Sehingga, secara prinsipil, cairan koloid ditujukan untuk melakukan resusitasi cairan pada kompartemen intravaskuler.
Nacl 0.9% adalah satu-satunya jenis cairan isotonik yang dapat diberikan bersama-sama dengan darah. Prosedur resusitasi menggunakan cairan ini menyebabkan kondisi hipernatremia dan asidosis metabolik hiperkloremik. Ringer's Lactate (RL) merupakan cairan isotonik yang lebih bersifat fisiologik karena mengandung komposisi elektrolit. Laktat yang dikandungnya bersifat basa, sehingga tidak akan menyebabkan asidosis ; dikonversi secara cepat ke bentuk bikarbonat di hepar (kecuali pada kasus-kasus dengan disfungsi hepatik).
Berdasarkan defisit volume kompartemen tersebut di atas, maka diperoleh patokan umum untuk melakukan resusitasi cairan pada beberapa kondisi klinik seperti diare, proses hemoragik, SIRS (sepsis, trauma, pankreatitis, pasca bedah), dan luka bakar. Namun yang akan lebih dibahas disini adalah mengenai luka bakar.
Pada SIRS (sepsis, trauma, pankreatitis dan pasca bedah), akibat adanya kebocoran kapilar dan hilangnya cairan pada rongga ketiga terjadi penurunan efektif volume di kompartemen cairan intravaskuler disertai edema (peningkatan volume di kompartemen intersisiel). Karena kurang dari 20% cairan kristaloid (yang diberikan melalui infus) dipertahankan di kompartemen intravaskular, maka pemberian cairan kristaloid harus dibatasi (karena akan meningkatkan volume di kompartemen intersisiel, edema bertambah). Cairan koloid seperti Hydroxyethyl Starch (HES) dilaporkan bermanfaat pada kondisi-kondisi SIRS ini.
Penatalaksanaan resusitasi cairan pada luka bakar dilakukan berdasarkan manifestasi klinik dari suatu trauma. Metode dan kebutuhan cairan akan berbeda pada setiap kondisi; pada kondisi syok tentunya berbeda dengan kondisi dimana tidak dijumpai syok. Secara umum dalam melakukan resusitasi pada luka bakar ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mencapai keberhasilan terapi, yaitu permasalahan yang terjadi pada pasien seperti syok, cedera inhalasi, derajat dan luas luka bakar, berat badan pasien, metode pemberian cairan; jumlah cairan, jenis cairan dan pemantauan yang dilakukan, informasi mengenai fungsi organ-organ penting (ginjal, paru, jantung, hepar dan saluran cerna) dan penggunaan obat-obatan yang rasional.
Metode resusitasi dan regimen terapi cairan yang dikenal selama ini merupakan cara atau usaha untuk memperoleh pengetahuan atau gambaran mengenai jumlah kebutuhan cairan dengan hitungan yang tegas; namun bukan suatu patokan yang memiliki nilai mutlak karena pemberian cairan sebenarnya berdasarkan kebutuhan sirkulasi yang dinamik dari waktu ke waktu dan harus dipantau melalui parameter-parameter tertentu. Dikenal dua regimen yang dianut beberapa tahun terakhir, yaitu regimen (formula) Evans-Brooke dan regimen (formula) Baxter/ Parkland.
Formula Evans-Brooke
Evans dan Brooke memberikan larutan fisiologik, koloid dan glukosa dalam resusitasi. Ketiga jenis cairan ini diberikan dalam waktu dua puluh empat jam pertama. Dasar pemikirannya adalah, bahwa pada luka bakar, dijumpai inefiktifitas hemoglobin dalam menyelenggarakan proses oksigenasi. Disamping itu terjadi ke¬hilangan energi yang mempengaruhi proses penyembuhan. Untuk itu diperlukan darah yang efektif dan asupan energi dalam bentuk glukosa.
Jumlah cairan diberikan dengan memperhitungkan luas per¬mukaan luka bakar dan berat badan pasien (dalam kilogram). Hari pertama, separuh jumlah kebutuhan cairan diberikan dalam delapan jam pertama, sisanya diberikan dalam enam belas jam sisa. Jumlah cairan yang dibutuhkan pada hari pertama adalah sebagaimana tercantum dalam tabel dibawah ini

Formula Evans :
1ml/kgBB/ %LB koloid (darah)
lml/kgBB / %LB larutan saline (elektrolit)
2000ml glukosa
Pemantauan : Diuresis (>50 ml/jam)

Formula Brooke :
0.5ml/kgBB/%LB koloid (darah)
1.5ml/kgBB/%LB larutan saline (elektrolit)
2000ml glukosa
Pemantauan : Diuresis (30-50 ml/jam)

Pada hari kedua, diberikan separuh jumlah kebutuhan koloid (darah) dan larutan saline ditambah 2000 m1 glukosa; pemberian merata dalam 24 jam.

Formula Baxter/Parkland
Parkland berpendapat, bahwa syok yang terjadi pada kasus luka bakar adalah jenis hipovolemia, yang hanya membutuhkan peng¬gantian cairan (yaitu kristaloid). Penurunan efektifitas hemoglobin yang terjadi disebabkan perlekatan eritrosit, trombosit, lekosit dan komponen sel lainnya pada dinding pembuluh darah (endotel). Sementara dijumpai gangguan permeabilitas kapilar dan terjadi kebocoran plasma, pemberian koloid ini sudah barang tentu tidak akan efektif bahkan menyebabkan penarikan cairan ke jaringan interstisiel; menyebabkan akumulasi cairan yang akan sangat sulit ditarik kembali ke rongga intravaskular. Hal tersebut akan me¬nambah beban jaringan dan 'menyuburkan' reaksi inflamasi di jaringan; serta menambah beban organ seperti jantung, paru dan ginjal.
Berdasarkan alasan tersebut, maka Parkland hanya memberi¬kan larutan Ringer's Lactate (RL) yang diperkaya dengan elektrolit. Sedangkan koloid/plasma, bila diperlukan, diberikan setelah sirkulasi mengalami pemulihan (>24-36jam).
Menurut Baxter dan Parkland, pada kondisi syok hipovolemia yang dibutuhkan adalah mengganti cairan; dalam hal ini cairan vang diperlukan adalah larutan fisiologik (mengandung elektrolit). Oleh karenanya mereka hanya mengandalkan larutan (RL) untuk resusitasi. Dan ternyata pemberian cairan RL ini sudah men¬cukupi, bahkan mengurangi kebutuhan akan transfusi.
Hari pertama, separuh jumlah kebutuhan cairan diberikan dalam delapan jam pertama, sisanya diberikan dalam enam belas jam kemudian. Jumlah cairan yang diperlukan pada hari pertama adalah sesuai dengan perhitungan Baxter (4 ml/kgBB), sehingga kebutuhan cairan resusitasi menurut Parkland adalah: 4ml / kgBB / %LB Ringer's lactate dengan pemantauan jumlah diuresis antara 0,5-l ml/kgBB/jam. Pada hari kedua, jumlah cairan diberikan secara merata dalam dua puluh empat jam.
Resusitasi metode Baxter / Parkland. Separuh jumlah cairan yang diperlukan diberikan dalam 8 jam pertama, sisanya dibagi dalam 16 jam berikutnya.
Resusitasi cairan pada syok (1)
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, pada kondisi syok resusitasi cairan tidak berpedoman pada regimen resusitasi cairan berdasarkan formula yang ada.
Syok merupakan suatu kondisi klinik dimana terjadi gangguan sirkulasi, yang menyebabkan gangguan perfusi dan oksigenasi sel/jaringan. Jumlah cairan yang hilang pada kondisi syok diperkirakan lebih dari 25% volume cairan tubuh; bila seorang dengan berat badan 70 kg jumlah cairan tubuhnya adalah 4.900 ml (70% dari berat badan, dibulatkan menjadi 5.000 ml) mengalami kehilangan 25% volume tersebut (kurang lebih 1.250ml), maka timbul manifestasi syok.
Gangguan perfusi ini menyebabkan sel atau jaringan meng¬alami hipoksia dan mungkin berakhir dengan nekrosis; bila hipoksia ini dibiarkan melebihi batas waktu maksimal ketahanan sel/jaringan (warm-ischaemic time). Waktu ini memang berbeda untuk setiap sel/jaringan. Diketahui bahwa sel-sel glia hanya dapat bertahan dalam kondisi hipoksik selama 4 (empat) menit; selanjutnya akan terjadi degenerasi selular yang berakhir dengan nekrosis sel. Ginjal dapat bertahan selama 8 (delapan) jam dalam kondisi hipoksik melebihi waktu tersebut akan terjadi degenerasi selular yang berakibat ATN dan berlanjut menjadi ARF. Masing-masing jaringan tubuh memiliki spesifikasi tertentu dalam hal ischaemic time ini
Dengan demikian penatalaksanaan syok yang berorientasi pada paradigma ini memerlukan tindakan resusitasi dalam waktu singkat, memperkecil kemungkinan kerusakan jaringan sehubungan dengan iscahemic time yang dijelaskan di atas.
Sampai saat ini diyakini jenis cairan yang dapat digunakan untuk melakukan resusitasi dengan baik adalah kristaloid (RL). Pemberiannya dilakukan dalam waktu cepat, menggunakan beberapa jalur intravena, bila perlu melalui vascular access (vena seksi dan sebagainya).

Resusitasi pada syok menggunakan cairan kristaloid. Tiga kali defisit cairan yang menyebabkan syok diberikan dalam 2 jam pertama. Sisa jumlah cairan yang diperhitungkan menurut metode Baxter/ Parkland diberikan berdasarkan kebutuhan sampai dengan 24 jam.
Jumlah cairan yang diberikan
Baxter memberikan pedomannya untuk menggunakan RL, tanpa risiko kelebihan cairan (overload) atau terjadinya imbalans elektrolit ; 4 ml/kg berat badan. Namun ternyata dengan dosis ini, pada anak-anak dan orang tua kelebihan cairan tetap terjadi, sehingga Artz menganjurkan pemberian sejumlah 2 ml/kg berat badan untuk anak-anak dan 3 ml/kg berat badan untuk orang tua. 1,2,6
Kebutuhan cairan meningkat dengan adanya cedera inhalasi, karena proses inflamasi eksudatif pada mukosa saluran nafas dan parenkim paru yang menyebabkan kehilangan cairan semakin bertambah . Untuk mengatasi syok, jumlah cairan yang diberikan adalah tiga kali jumlah cairan yang diperkirakan hilang. Maka, pada seorang dengan berat badan 70 kg (volume cairan tubuh 4.900m1, dibulatkan menjadi 5.000 m1) dengan syok (defisit 1.250 ml), jumlah cairan yang dibutuhkan untuk resusitasi adalah 3.750 m1 ; diberikan dalam waktu kurang dari 8 (delapan) jam (terbaik dalam 1-2 jam). Selanjutnya, setelah syok teratasi, maka pemberian cairan mengacu kepada regimen resusitasi cairan berdasarkan formula yang ada. 1
Secara umum, patokan klinik yang dipakai untuk melakukan pemantauan antara lain: Perbaikan kesadaran (perfusi ke serebral), frekuensi pernafasan dan diuresis (produksi urin per jam), kadar hemoglobin dan hematokrit, Central Venous Pressure (CVP), dan Pulmonary Artery Wedge Pressure (PWAP) yang merupakan parameter yang paling akurat dalam menggambar¬kan informasi volume cairan intravaskular; berhubungan langsung dengan tekanan pada arteri pulmonal. Nilai normal <18 mmHg. 1,7


Pemantauan diuresis pada resusitasi
Jumlah urin Keterangan
Syok 0.5 - 1 ml/kgBB/jam Perfusi inadekuat
Hari pertama-kedua 1 - 2 ml/kgBB/jam Sirkulasi stabil
Hari ketiga-keempat 3 - 4 ml/kgBB/jam Fase diuresis

Plasma 1
Sebagian klinikus berpendapat bahwa mendekati 24jam pasca trauma tubuh telah dapat menanggulangi kebocoran, oleh karena¬nya cairan apapun yang diberikan akan tetap berada di rongga intravaskular. Dalam waktu 24-36 jam pasca trauma, plasma expander dapat diberikan. Namun, sebelum 24 jam, pemberian koloid di¬anggap tidak efektif karena masih dijumpai kebocoran kapilar.

% LukaBakar Kebutuhan Plasma (ml)
Pada BB 70 Kg
20 – 40 0 – 500
40 – 60 500 – 1700
60 – 80 1000 – 3000
> 80 1500 – 3500

Pemberian mannitol menjadi alternatif dari larutan hipertonik, bila dijumpai kadar natrium dalam darah berada pada batas nilai normal. Lebih lanjut disebutkan, bahwa pemberian mannitol 20% memperbaiki perfusi ke tubulus ginjal. Berdasarkan fakta ini, pemberiannya dimungkin¬kan untuk dapat diberikan dalam 24 jam pertama.



Komplikasi
Komplikasi pada luka bakar dapat berupa SIRS, MODS, sikatriks, dan kontraktur.2,6
Gangguan sirkulasi ke berbagai organ menyebabkan kondisi¬-kondisi yang memicu timbulnya SIRS. Gangguan sirkulasi serebral menyebabkan disfungsi karena gangguan sistim autoregulasi serebral yang memberi dampak sistemik (ensefalopati). Gangguan sirkulasi ke ginjal menyebabkan iskemi ginjal (khususnya tubulus) berlanjut dengan Acute Tubular Necrosis (ATN) yang berakhir dengan gagal ginjal (acute renal failure, ARF). Gangguan sirkulasi perifer menyebabkan iskemi otot-otot dengan dampak pemecahan gliko¬protein yang meningkatkan produksi Nitric Oxyde (NO); NO ini diketahui berperan sebagai modulator sepsis. Gangguan sirkulasi ke kulit dan sistim integumen menyebabkan terutama gangguan sistim imun; karena penurunan produksi limfosit dan penurunan fungsi barrier kulit.
Kvetan dan Takala menjelaskan iskemia mukosa usus terjadi akibat vasokonstriksi splangnikus (gangguan hemostasis) pada fase syok berperan sebagai penyebab stress ulcer. Teori ini menunjang teori Harjodisastro akan temuannya mengenai iskemia mukosa serta memiliki relevansi dengan peran katekolamin dan glukagon pada kondisi stres. 1

Prognosis
Semakin berat derajat suatu luka bakar, maka prognosisnya semakin berat. Dan prognosis juga tergantung pada kecepatan dan ketepatan tindakan. 2








DAFTAR PUSTAKA

1. Moenadja, Yefta, Luka Bakar : pengetahuan Klinis Praktris, edisi kedua (revisi) Fakultas kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 2003 hal 1-65.
2. Mansjoer, A, dkk, Bedah Plastik dalam Kapita Selekta Kedokteran, edisi ketiga jilid 2, Media Aeskulapius FK UI, Jakarta 2000 hl. 367-9
3. Picture of burn patiens availabel from : http://www.shrinershq.org/research/galveston/ kramer.html ==> George C. Kramer, Ph.D
4. Amiruddin, D (ed), Anatomi kulit dalam Ilmu penyakit Kulit, Bagian Ilmu penyakit Kulit dan Kelamin FK UNHAS, Makassar 2000, hl 1-4
5. Anonim, Resusitasi cairan dan elektrolit, dalam Buku Pegangan BHD BHL bagi dokter umum se Propensi Sul-sel, Ikatan Dokter Spesiali Anestesiologi cabang Sulsel, Makassar 2000, hl 62-3
6. Sjamsuhidajat, R, de Jong, Wim (ed) Luka Bakar dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi revisi. EGC, Jakarta 1997 hl. 81-90
7. Oliver, R.I Burns, Resusitation and Early Management, availabel from http://www.emedicine.com/plastic/topic159.htm, accessed at February 25 2005.

Mengasihi Dengan Mengambil Resiko

Mengasihi dengan Mengambil Risiko

Pernahkah engkau ditnggalkan oleh orang yang kau kasihi untuk selamanya?
Waniti ini mengalaminya…Ditinggalkan oleh dua pribadi yang telah hidup seatap bersamanya selama 17 tahun lamanya.
Di dalam semalam hidup wanita ini berubah menjadi seorang diri, tanpa ada lagi pribadi yang membimbingnya dan melindunginya.
Tiada lagi tempat untuk bercerita dan menangis. Hanya seorang diri...
Benarkan wanita itu hanya seorang diri?.....Tidak teman...
Sejak waktu itu, Tuhan langsung pegang hidup wanita itu. Dia langsung berperan menjadi orang tua buat hidup wanita ini. Dia menjadi tempat pertama untuk wanita ini bersandar ketika wanita ini lemah, menangis atau saat bingung dengan keadaan hidup ini.
Dia menjadi tempat pertama untuk wanita ini menceritakan kebahagiaan yang ia rasakan. Bahkan Tuhan memberikan wanita ini kejutan – kejutan manis yang seakan – akan ingin mengatakan pada wanita ini bahwa Tuhan mencintainya.
Wanita ini semakin bertumbuh dan kembali memiliki pengharapan atas hidupnya...
Akan tetapi,
Tuhan belum selesai atas wanita itu...
Hati wanita ini masih penuh dengan ketakutan.
Ketakutan yang terutama adalah untuk mengasihi dan dikasihi.
Dirinya takut sekali ketika dia berani mengasihi karena itulah saatnya dia berani melangkah maju dengan mengambil risiko kehilangan lagi.
Benteng dalam dirinya telah dibangun dengan kuat selama ini untuk melindungi hatinya yang rapuh.
Tuhan sayang padanya, sehingga tujuh tahun kemudian, Tuhan ijinkan seorang pria masuk ke dalam hati wanita ini.
Wanita ini ingin menolak, akan tetapi Tuhan mengingatkannya, ”Di waktu lalu engkau kuat untuk bertahan dan bangkit. Maukah engkau percaya bahwa Aku Tuhan yang pegang dan menjaga hatimu, Janganlah takut”.
Hari ini, hati wanita ini kembali disusupi oleh ketakutan akan ditinggalkan oleh pria yang selalu ia kasihi. Kuatir dan merasa lebih baik seorang diri. Wanita ini kembali mengingat janji Tuhan untuk percaya bahwa Tuhan akan terus menjaga hati dan hidupnya.
Wanita ini tidak berjalan sendiri, dan sepanjang Tuhan menjadi tempat pertama maka wanita ini tidak perlu takut.
Sepanjang ada Tuhan yang pegang hidupnya, maka wanita ini pasti akan berdiri. Ketika ada pertemuan pasti ada perpisahan. Entah sekarang atau di masa yang akan datang. Akan tetapi nikmatilah saat di mana engkau memiliki kesempatan mengasihi dan dikasihi oleh orang lain. Karna saat ituah Tuhan mendewasakan engkau. Dan buang jauh ketakutan dan kekuatiran itu dari dalam benak kita karena engkau akan menghalangi kita untuk mengalami hidup berkelimpahan. Nikmatilah, bersyukurlah dan Beranilah.....

Learn About Love

LEARN ABOUT LOVE

Jika kamu memancing ikan, setelah ikan itu terlekat di mata kail, hendaklah kamu mengambil ikan itu…
Janganlah sesekali kamu melepaskannya kembali ke dalam air begitu saja...
Karena ia akan sakit oleh karena ketajaman mata kailmu dan mungkin ia akan menderita selagi ia masih hidup.

Begitulah juga setelah kamu memberi banyak pengharapan kepada seseorang....
Setelah ia mulai menyayangimu, hendaklah kamu menjaga hatinya...
Janganlah sesekali kamu meninggalkannya begitu saja...
Karena dia akan terluka oleh kenangan bersamamu dan mungkin tidak akan dapat melupakan segalanya selagi dia mengingatmu.

Jika kamu menadah air, biarlah mendapat sedapatnya, jangan terlalu mengharap pada kedalaman lengkungannya dan janganlah menganggap wadah itu begitu kokoh...
Cukuplah menadah sesuai kebutuhanmu.
Apabila wadah itu sekali retak...
Tentu sukar bagimu untuk menambalnya kembali menjadi seperti semula...
Akhirnya kamu akan membuangnya...
Sedangkan jika kamu mencoba memperbaikinya, mungkin kamu masih dapat mempergunakannya lagi.

Begitu juga jika kamu memiliki seseorang, terimalah seadanya....
Janganlah kamu terlalu mengaguminya dan janganlah kamu menganggapnya begitu istimewa....
Anggaplah dia manusia biasa
Bila tidak, apabila sekali dia melakukan kesilapan, tidak mudah bagi kamu untuk menerimanya...
Akhirnya kamu akan kecewa dan meninggalkannya.
Sedangkan jika kamu memaafkannya, boleh jadi hubungan kamu akan terus hingga ke akhir hayat.

Jika kamu telah memiliki sepiring nasi, punyamu pastilah yang terbaik untuk dirimu, mengenyangkan dan berkhasiat...
Mengapa kamu lengah, mencoba mencari makanan yang lain...
Terlalu ingin mengejar kelezatan
Kelak, nasi itu akan basi dan kamu tidak boleh memakannya.
Dan kamu akan menyesal.

Begitu juga jika kamu telah bertemu dengan seorang kekasih...
Kekasihmu itu pasti membawa kebaikan kepada dirimu...
Menyayangimu dan mengasihimu....
Mengapa kamu berlengah, mencoba membandingkannya dengan yang lain...
Terlalu mengejar kesempurnaan...
Kelak, kamu akan kehilangannya apabila dia menjadi milik orang lain dan kamu Juga yang akan menyesal....

Skrofuloderma

SKROFULODERMA

PENDAHULUAN
Tuberkulosis merupakan suatu penyakit infeksi yang berefek pada paru – paru, kelenjar getah bening, tulang dan persendian, kulit, usus dan organ lainnya. Tuberkulosis kutis terjadi saat bakteri mencapai kulit secara endogen maupun eksogen dari pusat infeksi. Klasifikasi tuberculosis kutis yaitu tuberculosis kutis yang menyebar secara eksogen (inokulasi tuberculosis primer, tuberculosis kutis verukosa), secara endogen (Lupus vulgaris, skrofuloderma, tuberculosis kutis gumosa, tuberculosis orifisial, tuberculosis miliar akut) dan tuberkulid (Liken skrofulosorum, tuberkulid papulonekrotika, eritema nodosum).
Salah satu tuberculosis kutis yang menyebar secara endogen adalah skrofuloderma. Skrofuloderma adalah tuberculosis kutis murni sekunder yang timbul akibat penjalaran perkontinuitatum dari jaringan atau organ di bawah kulit yang telah terserang penyakit tuberculosis misalnya tuberkulosis kelenjar getah bening, tuberculosis tulang dan keduanya atau tuberculosis epididimis atau setelah mendapatkan vaksinasi.

EPIDEMIOLOGI
Penyakit ini dapat terjadi di belahan dunia manapun, terutama di Negara – Negara berkembang dan negara tropis. Di negara berkembang termasuk Indonesia, tuberculosis kutis sering ditemukan. Penyebarannya dapat terjadi pada musin hujan dan diakibatkan karena gizi yang kurang dan sanitasi yang buruk. Skrofuloderma menyerang semua usia tetapi lebih sering terjadi pada anak – anak dan dewasa muda. Prevalensinya tinggi pada anak – anak yang mengonsumsi susu yang telah terkontaminasi Mycobacterium bovis.

ETIOLOGI
Penyebab utamanya adalah Mycobacterium tuberculosis. M. tuberculosis berbentuk batang, panjang 2-4/μ dan lebar 0,3-0,5/ μ, tahan asam, tidak bergerak, tidak membentuk spora, bersifat aerob dan suhu optimal pertumbuhan 37°C. Selain M. tuberculosis, M. bovis juga dapat menyebabkan terjadinya skrofuloderma.

PATOGENESIS
Pada penyakit ini biasanya menular melalui percikan air ludah dan oleh karenanya porte d’entrée skrofuloderma di daerah leher adalah pada tonsil atau paru, jika di ketiak maka kemungkinan porte d’entrée pada apeks pleura, jika di lipat paha porte d’entrée pada ekstrimitas bawah. Kadang – kadang ketiga tempat predileksi tersebut terserang sekaligus, yakni pada leher, ketiak dan lipatan paha.
Krofuloderma merupakan hasil dari adanya penjalaran jaringan di bawah kulit yang terserang tuberculosis, biasanya kelenjar getah bening, tetapi kadang – kadang dapat juga berasal dari tulang, atau kedua – duanya atau tuberculosis epididimis.
Tuberkulosis kelenjar getah bening tersering terjadi dan yang terkena adalah kelenjar getah bening pada supraklavikula, submandibula, leher bagian lateral, ketiak, dan lipatan paha (jarang terjadi). Fokus primer didapatkan pada daerah yang aliran getah beningnya bermuara pada kelenjar getah bening yang meradang.
Penyebaran penyakit terjadi secara cepat melalui limfatik ke kelenjar getah bening dari daerah yang sakit dan melalui aliran darah. Granuloma yang terbentuk pada tempat infeksi paru disebut ghonfocus dan bersamaan kelenjar getah bening disebut kompleks primer adalah tuberculous chancre. Bila kelenjar getah bening pecah timbul skrofuloderma. Reinfeksi eksogenous bisa terjadi meskipun jarang dan reaksinya pada host yang telah tersensitasi oleh infeksi sebelumnya berbeda dengan mereka yang belum tersensitasi.

GAMBARAN KLINIK
Skrofuloderma biasanya dimulai sebagai infeksi kelenjar getah bening (limfadenitis tuberculosis) berupa pembesaran kelenjar getah bening. Kelenjar getah bening ini konsistensinya padat pada perabaan. Mula – mula hanya beberapa kelenjar yang diserang, lalu makin banyak dan berkonfluensi. Selanjutnya berkembang menjadi periadenitis yang menyebabkan perlekatan kelenjar tersebut dengan jaringan sekitarnya. Kemudian kelenjar tersebut mengalami perlunakan yang tidak serentak, menyebabkan konsistensinya menjadi bermacam – macam, yaitu didapati kelenjar getah bening melunak dan membentuk abses yang akan menembus kulit dan pecah, bila tidak disayat dan dikeluarkan nanahnya, abses ini disebut abses dingin artinya abses tersebut tidak panas maupun nyeri tekan, melainkan berfluktuasi (bergerak bila ditekan, menandakan bahwa isinya cair). Pada stadium selanjutnya terjadi perkejuan dan perlunakan, pecah dan mencari jalan keluar dengan menembus kulit di atasnya dengan demikian membentuk fistel. Kemudian fistel meluas hingga mejadi ulkus yang mempunyai sifat khas yakni bentuknya panjang dan tidak teratur, dan di sekitarnya berwarna merah kebiruan, dindingnya tergaung, jaringan granulasinya tertutup oleh pus yang purulen, jika mongering menjadi krusta warna kuning.
Lesi dapat sembuh secara spontan namun memerlukan waktu dalam beberapa tahun dengan meninggalkan bekas luka (sikatriks) yang memanjang dan tidak teratur. Jembatan kulit (skin bridge) kadang – kadang terdapat di atas sikatriks, biasanya berbentuk seperti tali yang kedua ujungnya melekat pada sikatriks tersebut.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan bakteriologik
Pemeriksaan bakteriologik penting untuk mengetahu penyebabnya. Pemeriksaan bakteriologik menggunakan bahan berupa pus. Pemeriksaan bakteriologik yang dapat dilakukan antara lain pemeriksaan BTA, kultur dan PCR. Pemeriksaan BTA dengan menggunakan pewarnaan Ziehl Neelson mendeteksi kurang lebih 10.000 basil per mL. Pada pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction) dapat juga digunakan untuk mendeteksi M. tuberculosis. Pemeriksaan kultur menggunakan medium non sekeltif (Lowenstein-Jensen), tetapi hasilnya memerlukan waktu yang lama karena M. tuberculosis butuh waktu 3 – 4 minggu untuk berkembang biak.
2. Pemeriksaan Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi penting untuk menegakkan diagnosis. Pada gambaran histopatologi tampak radang kronik dan jaringan nekrotik mulai dari lapisan dermis sampai subkutis tempat ulkus terbentuk. Jaringan yang mengalami nekrosis kaseosa oleh sel – sel epitel dan sel – sel Datia Langhan’s.
3. Tes Tuberkulin (Tes Mantoux)
Diagnosis pasti tuberculosis kutis tidak dapat ditegakkan berdasarkan tes tuberculin yang positif karena tes ini hanya menunjukkan bahwa penderita pernah terinfeksi tuberculosis tetapi tidak dapat membedakan apakah infeksi tersebut masih berlangsung aktif atau telah berlalu.
4. LED
Pada tuberkulosis kutis, LED mengalami peningkatan tetapi LED ini lebih penting untuk pengamatan obat daripada untuk membantu menegakkan diagnosis.

DIAGNOSIS
Diagnosis pada skrofuloderma dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran klinis dan ditunjang oleh pemeriksaan histopatologi. Selain itu dapat juga ditunjang dengan pemeriksaan bakteriologik.

DIAGNOSIS BANDING
1. Aktinomikosis
Skrofuloderma di leher biasanya mempunyai gambaran klinis yang khas sehingga tidak perlu diadakan diagnosis banding. Walaupun demikian aktinomikosis sering dijadikan diagnosis banding terhadap skrofuloderma di leher. Aktinomikosis biasanya menimbulkan deformitas atau benjolan dengan beberapa muara fistel produktif.
2. Hidradenitis supurativa
Jika skrofuloderma terdapat di daerah ketiak dibedakan dengan hidradenitis supurativa yakni infeksi oleh Piokokus pada kelenjar apokrin. Penyakit tersebut bersifat akut dan disertai dengan tanda – tanda radang akut yang jelas, terdapat gejala konstitusi dan leukositosis. Hidradenitis supurativa biasanya menimbulkan sikatriks sehingga terjadi tarikan – tarikan yang mengakibatkan retraksi ketiak.
3. Limfogranuloma venereum
Skrofuloderma yang terdapat di lipatan paha kadang – kadang mirip dengan penyakiy venerik yaitu limfogranuloma venereum (LGV). Perbedaan yang penting adalah pada LGV terdapat riwayat kontak seksual pada anamnesis disertai gejala konsitusi (demam, malese, artralgia) dan terdapat kelima tanda radang akut. Lokalisasinya juga berbeda, pada LGV yang diserang adalah kelenjar getah bening inguinal medial, sedangkan pada skrofuloderma menyerang getah bening inguinal lateral dan femoral. Pada stadium lanjut LGV terdapat gejala bubo bertingkat yang berarti pembesaran kelenjar di inguinal medial dan fosa iliaka. Pada LGV tes frei positif, pada skrofuloderma tes tuberculin positif.

PENGOBATAN
Pengobatan tuberkulosis kutis pada prinsipnya sama dengan pengobatan tuberkulosis paru, yaitu menggunakan kombinasi beberapa obat dan diberikan dalam jangka waktu tertentu. Sesuai rekomendasi WHO, untuk kasus tuberkulosis kutis maka pengobatan yang diberikan dimasukkan dalam kategori III (2HRZ 6HE, 2HRZ4HR, 2HRZ4H3R3)
Kriteria penyembuhan pda skrofuloderma ialah semua fistel dan ulkus telah menutup, seluruh kelenjar getah bening mengecil (kurang dari 1 cm dab berkonsistensi keras), dan sikatriks yang semula eritematosa menjadi tidak eritema lagi. LED dapat dipakai sebagai pegangan untuk menilai penyembuhan pada penyakit tuberculosis. Jika terjadi penyembuhan, LED akan menurun dan menjadi normal.
Pengobatan topical pada pasien tuberculosis kutis tidak sepenting pengobatan sistemik. Jika basah, kompres dengan kalium permanganate 1/50.000. Jika kering diberikan salep antibiotic.
Terapi pembedahan berupa eksisi dapat dilakukan. Terapi pembedahan pada skrofuloderma biasanya diindikasikan untuk kasus :
- terapi dengan antituberkulosis gagal
- penderita skrofuloderma disertai penurunan kekebalan tubuh
- penderita skrofuloderma berulang
- penderita skrofuloderma disertai dengan penyakit yang berat.

PROGNOSIS
Lesi dapat sembuh secara spontan namun memerlukan waktu dalam beberapa tahun dengan meninggalkan bekas Lukas (sikatriks) yang memanjang dan tidak teratur. Pada umumnya selama pengobatan memenuhi syarat seperti yang telah diseburkan, prognosisnya baik.


DAFTAR PUSTAKA
1. Nascimento LV. Mycobacteria. In: Tyring SK, Lupi O, Hengge UR, editors. Tropical dermatology. China: Elsevier Churchill Livingstone; 2006. p. 253-4.
2. Suhariyanto B, Prasetyo R. Terapi alternative pada pengobatan skrofuloderma. Berkala ilmu penyakit kulit & kelamin airlangga periodical of dermato-venerology 2006 Agust 2:18:133-5.
3. Tappeiner G, Wolff Klaus. Tuberculosis and other mycobacterium infection. In: Feedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, editors. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 6th ed. New York: McGraw-Hill; 2003. p. 1933-46.
4. Djuanda A. Tuberkulosis kulit. Dalam: Djuanda A, Djuanda S, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 4th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI;1999. p. 64-72.
5. Meltzer MS. Cutaneous tuberculosis [Online] 2006 Nov 20 [cited 2007 March 7];[10 screens]. Available from: URL:http://www.eMedicine.com.
6. Ardiana D, Wuryaningrum W, Widjaja E. Skrofuloderma pada dada. Berkala ilmu penyakit kulit & kelamin airlangga periodical of dermato-venerology 2002 Apr 1:14:101-5.
7. Siregar HS. Atlas berwarna saripati penyakit kulit. Ed.2. Jakarta: EGC;2004.
8. Silva MR, Catro MCR. Mycobacterium infection. In: Bologna J, Jorizzo J, Rapini RP, editors. Dermatology. Vol.1. London: Mosby;2003. p. 1145-58.

Maret 2007