Jumat, 05 September 2008

Ozaena

OZAENA

PENDAHULUAN

Berdasarkan diagnosis dan pengobatannya, Rhinitis dibagi menjadi 3 kategori yaitu rhinitis alergi, rhinitis infeksi dan rhinitis bentuk lainnya. Rhinitis atrofi termasuk dalam kategori rhinitis bentuk lainnya dan digolongkan menjadi rhinitis atrofi primer (Ozaena) dan rhinitis atrofi sekunder. Ozaena adalah penyakit infeksi hidung kronik yang ditandai oleh adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka serta pembentukan krusta.

Ozaena sering ditemukan pada masyarakat dengan tingkat social ekonomi rendah. Di lingkungan yang buruk, dan negara sedang berkembang. Rhinitis atrofi pertama kali ditemukan pada abad ke-19. Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh dr. Spencer Watson pada tahun 1875 dan kemudian membagi ozaena menjadi ringan, sedang dan berat. Kasus ringan mengakibatkan krusta nasal dan diobati dengan irigasi nasal. Tingkat sedang mengakibatkan anosmia dan fetor nasi sementara tingkat berat yang diakibatkan oleh sifilis dan dihubungkan dengan bau yang keras dan destruksi tulang. Pada tahun berikutnya, dr. Bernhard Fraenkel mendeskripsikan trias pada rhinitis atrofi yaitu fetor, krusta dan atrofi struktur nasal.

INSIDENS

Rhintis atrofi lebih sering mengenai wanita, terutama usia pubertas. Tetapi beberapa penulis mendapatkan hasil yang berbeda – beda. Penyakit ini sering ditemukan di kalangan masyarakat dengan tingkat social ekonomi yang rendah, lingkungan yang buruk dan di Negara yang sedang berkembang. Di RS Adam malik Medan, dari januari 1999 sampai Desember 2000 ditemukan enam penderita rhinitis atrofi yaitu empat orang wanita dan dua pria dengan umur berkisar 10 – 37 tahun. Ozaena juga ditemukan pada orang –orang dengan abnormalitas bentuk tengkorak dan malformasi fossa nasi, dan palatum, anak – anak dengan perkembangan tulang konka dan mukosa hidung yang terhambat dan wanita dengan vaginitis atrofi.

ETIOLOGI

Penyebab ozaena masih belum diketahui, namun diduga diakibatkan oleh Klebsiella ozaenae dan Bacillus foetidus. Kuman – kuman lain yang diduga penyebab ozaena adalah P. vulgaris, Escherichia coli, Corynebacterium, micrococcus (Stafilokokus) dan streptokokus. Tidak diketahui secara pasti apakan ozaena merupakan penyakit infeksi atau kombinasi penyakit infeksi dan factor – factor lainnya seperti factor herediter, nutrisi dan hormonal.

PATOGENESIS

Pada ozaena terjadi metaplasia epitel kolumna bersilia menjadi epitel skuamos atau atrofik dan fibrosis dari tunika propria, terdapat pengurangan kelenjar alveolar baik dalam jumlah dan ukuran serta adanya enarteritis dan periarteritis pada arterile terminal. Oleh karena itu secara patologi, rhinitis atrofi dapat dibagi menjadi dua yaitu :

- Tipe I : adanya endarteritis dan periarteritis pada arterile terminal akibat infeksi kronik dan membaik dengan efek vasodilator dan terapi estrogen

- Tipe II : terdapat vasodilatasi kapiler yang bertambah jelek dengan terapi estrogen.

Sebagian besar kasus merupakan tipe I. Endarteritis di arteriole akan menyebabkan berkurangnya aliran darah ke mukosa. Juga akan ditemui infiltrasi sel bulat di submukosa. Taylor dan Young mendapatkan sel endotel bereaksi positif dengan fosfatase alkali yang menunjukkan adanya absorbsi tulang yang aktif.

Atrofi epitel bersilia dan kelenjar seromusinus menyebabkan pembentukan krusta tebal yang melekat. Atrofi konka menyebabkan saluran napas menjadi lapang. Ini juga dihubungkan dengan teori proses autoimun. Dobbie mendeteksi adanya antibody yang berlawanan dengan surfaktan protein A. Defisiensi surfaktan merupakan penyebab utama menurunnya resistensi hidung terhadap infeksi. Fungsi surfaktan yang abnormal menyebabkan pengurangan efisiensi mucus clearance dan mempunyai pengaruh kurang baik erhadap frekuensi gerakan silia. Ini akan menyebabkan bertumpuknya lender dan juga diperberat dengan keringnya mukosa hidung dan hilangnya silia. Mukus akan mongering bersamaan dengan terkelupasnya sel epitel, membentuk krusta yang merupakan medium yang sangat baik untuk pertumbuhan kuman. Mukosa hidung yang atrofi mengakibatkan kehilangan mukosiliar klirens dan disregulasi saraf olfaktorius. Akibatnya hidung tidak bias menjalankan fungsi – fungsinya dengan baik dan menyebabkan terjadinya akumulasi sekret dan krusta dalam kavum nasi, obstruksi hidung dan hiposmia/anosmia.

MANIFESTASI KLINIK

Sutomo dan Samsudin membagi ozaena secara klinik dalam tiga tingkat yaitu :

O Tingkat I : atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan berlendir, krusta sedikit

O Tingkat II : atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering, warna makin pudar, krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas.

O Tingkat III : atrofi berat mukosa dn tulang sehingga konka tampak sebagai garis, rongga hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta di nasofaring, terdapat anosmia yang jelas.

Selain itu pasien juga mnegeluh obstruksi nasi akibat penimbunan secret dan krusta dalam cavum nasi, bau busuk yang dating dari hidung (fetor nasi) oleh bakteri serta penguraian dan kerja dari bakteri saprofit lainnya dan gangguan psikis (depresi) akibat dari bau busuk yang ditimbulkan krusta , sehingga masyarakat menjauhi penderita.

DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

ANAMNESIS

Keluhan utama yang bisa muncul pada pasien ini adalah hidung tersumbat, napas berbau, gangguan penghidu, dan sakit kepala.

PEMERIKSAAN FISIS

Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior ditemukan

- penimbunan secret dan krusta yang berwarna hijau yang memenuhi rongga nasi

- konka antrofi dan berwarna pucat

- rongga hidung sangat lapang

- nasofaring dapat terlihat dengan mudah

PEMERIKSAAN HISTOPATOLOGI

Terjadi atrofi mukosa dan submukosa dengan penebalan, fibrosis dan obliterasi pembuluh darah serta destruksi kelenjar. Pada stadium awal perubahan yang terjadi menyerupai sebuah proses inflamasi kronik. Pada stadium lanjut terjadi deskuamasi dan kehilngan sel epitel kolumner dan silia dan diganti dengan epitel skuamosa bertingkat tidak bersilia. Pembuluh darah menjadi fibrosis dan akhirnya terjadi enasrteritis obliterans. Tulang –tulang di bawah permukaan menjadi atrofi atau mengalami degenerasi. Dengan terjadinya atrofi kelenjar mukosa, sekresi berubah menjadi berkrusta dan mukopurulen. Perbedaan ozaena dan rhinitis atrofi sekunder adalah akibat infeksi kronik dengan inflamasi limfosit dan bukan merupakan penyakit pembuluh darah atau suatu proses fibrosis sementara pada ozaena terjadi fibrosis tanpa infiltrasi limfosit, yang menunjukkan suatu proses primer.

PEMERIKSAAN RADIOLOGI

Pada foto polos didapatkan pembengkokan lateral dinding nasi, kehilangan atau penipisan konka nasi atau hipoplasi sinus maksilaris.

Pada CT scan didapatkan :

- penebalan mukoperisteal sinus paranasalis

- kehilngana definisi kompleks osteomeatal sekunder terhadap resoprsi bulla ethmoid

- Hipoplasi sinus maksilaris

- Pembesaran rongga nasi dengan erosi dan pembengkokan dinding lateral nasi

- Resoprsi tulang dan atrofi mukosa konka nasi medial dan inferior

Pemeriksaan penunjang yang lain adalah pemeriksaan mikrobiologi, tes mantoux, tes serologi (VDRL dan wasserman) dan pemeriksaan Fe serum.

DIAGNOSIS BANDING

- Rhinitis kronik TBC

- Rhinitis kronik sifilis

- Rhinitis sika

KOMPLIKASI

- Sinusitis

- Perforasi septum

- Faringitis

- Hidung plana

PENATALAKSANAAN

Terapi pada ozaena pada umumnya mempunyai dua tujuan yaitu restorasi hidrasi nasi dan minimalisir krusta. Untuk mencapai target ini, terapi topical, sistemik dan bedah bisa dipakai sesuai kebutuhna.

Terapi yang paling sering dipakai adalah irigasi nasi. Tujuan irigasi adalah untuk mencegah pembentukan krusta. Untuk mencapai tujuan ini, irigasi dilakukan beberapa kali sehari. Beberapa jenis larutan yang dipakai untuk irigasi antara lain larutan saline biasa, saline natrium bicarbonate atau kombinasi larutan natrium karbonat, natrium biborat dan natrium klorida. Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan menghembuskan kuat – kuat, air yang masuk ke nasofaring dikelurkan melalui mulut, dilakukan dua kali sehari.

Terapi lain yang dianjurkan adalah meningkatkan kelembaban ronggan nasi. Untuk itu bisa dipakai gliserin, minyak mineral atau menthol yang dicampur dengan paraffin. Ini bisa dioleh setelah irigasi nasi. Untuk menghilangkan bau busuk dari hidung penderita, bisa ditambahkan menthol. Selain itu bisa juga ditambahkan pilokarpin atau atropine ke mukosa hidung untuk menstimulasi kelenjar mukosa yang masih ada namun efektifitas tindakan ini belum diteliti. Selain itu dapat juga diberikan tampon yang dibasahi dengan laruta ightyol 10%, dimasukkan ke dalam hidung dan dibiarkan 20 – 30 menit sehingga krusta lembek dan kemudian krusta dikeluarkan dengan forsep. Setelah krusta dikeluarkan dapat diberikan larutan glukosa 25% dalam gliserin yang menghambat organism proteolitik.

Terapi antibiotic oral dengan antibiotic spectrum luas sesuai uji resistensi kuman, dengan dosis adekuat sampai tanda – tanda infeksi hilang. Terapi oral lainnya adalah vitamin A dan suplemen ferum. Terapi – terapi seperti kalium iodide untuk meningkatkan sekresi nasi, vasodilator untuk meningkatkan aliran darah ke mukosa hidung diberikan berdasarkan kebutuhan individu.

Jika pengobatan konservatif belum memuaskan maka dapat dilakukan tindakan operasi dengan 3 kategori yaitu operasi denervasi, pengurangan volume dan penutupan nasi. Tujuan operasi antara lain adalah untuk menyempitkan rongga hidung, mengurangi pengeringan dan pembentukkan krusta dan mengisitirahatkan mukosa sehingga memungkinakan terjadinya regenerasi.

Beberapa teknik operasi yang digunakan antara lain Young’s operation, Modified Young’s operation, Lautenschlager operation, implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang dan dermofi serta teknik transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksilaris.

PROGNOSIS

Pada kebanyakan kasus, meskipun dengan terapi konservatif, keluhan masih timbul. Oleh karena itu, dengan tindakan operasi diharapkan terjadinya perbaikan mukosa dan keadaan penyakit pada penderita.

Tidak ada komentar: