Selasa, 21 April 2009

Resusitasi Luka Bakar

RESUSITASI PASIEN LUKA BAKAR

Pendahuluan
Luka bakar merupakan suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia yang bersifat asam atau basa kuat, listrik, petir, radiasi dan akibat suhu yang sangat rendah (frost bite).
Permasalahan pada luka bakar sangat kompleks sehingga dalam penanganannya membutuhkan penangan multidisipliner dan atau interdisipliner. Dalam perjalanan penyakitnya dibedakan atas 3 fase yaitu fase awal, (akut,syok), fase setelah syok berakhir, dan fase lanjut.
Penanganan pasien luka bakar sama halnya dengan penanganan pada pasien pasien lain yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi penderita serta mencegah kerusakan dan komplikasi yang lebih berat.

Definisi
Luka bakar merupakan suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia yang bersifat asam atau basa kuat, listrik, petir, radiasi dan akibat suhu yang sangat rendah (frost bite).1 sehingga dapat menyebabkan kematian, atau akibat lain yang berkaitan dengan problem fungsi maupun estetik.2

Anatomi Kulit 4
Kulit merupakan organ tubuh yang terletak paling luar dan merupakan alat proteksi terhadap organ-organ yang terdapat di bawahnya dan membatasinya dari lingkungan hidup manusia di sekitarnya.
Luas kulit orang dewasa 1,5 m2 dengan berat kira-kira 15% dari berat badan manusia dan mempunyai tebal yang bervariasi antara ½ - 3 mm.
Kulit sangat kompleks, elastis dan sensitif, bervariasi pada keadaan iklim, umur, seks, ras, dan juga bergantung pada lokasi tubuh.
Secara histopatologik lapisan kulit tersusun atas tiga lapisan utama yaitu lapisan epidermis atau kutikel, lapisan dermis (korium, kutis vera, true skin), dan lapisan subkutis (hipodermis)
Lapisan epidermis sendiri terdiri dari 5 lapisan (stratum) berturut-turut dari atas ke bawah : stratum corneum, stratum lucidium,stratum granulosum, stratum spinosum (spongiosum = princkle cell layer), stratum basale (germinativum).
Lapisan dermis adalah lapisan di bawah epidermis yang jauh lebih tebal daripada epidermis. Lapisan ini terdiri atas lapisan-lapisan elastik dan fibrosa padat dengan elemen-elemen seluler dan folikel rambut dibagi menjadi 2 bagian yaitu stratum Papilaris dan stratum Retikularis
Lapisan sub kutis adalah kelanjutan dermis terdiri dari jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak di dalamnya. Lapisan sel-sel lemak disebut Panikulus Adiposa, berfungsi sebagai cadangan makanan. Di lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh darah dan pembuluh getah bening.

Faal Kulit 4
Kulit merupakan suatu organ dan mempunyai fungsi tersendiri. Fungsi utama kulit yaitu sebagai proteksi, absorbsi, eksresi, persepsi, pengatur suhu tubuh, (thermoregulator), membentuk pigmen membentuk vitamin D, dan keratinisasi. Dari sekian banyak fungsi yang dimiliki oleh kulit, maka dengan muda dapat dimengerti bahwa kerusakan pada kulit akibat luka bakar akan mengakibatkan berbagai kelainan yang akan lebih banyak dijelaskan dalam referat ini.

Patofisiologi Luka Bakar
Dengan terjadinya luka bakar, maka akan terjadi kehilangan kulit yang memiliki fungsi sebagai barier sehingga luka sangat muda terinfeksi, terjadi penguapan cairan tubuh yang berlebihan yang disertai pengeluaran protein dan energi yang akhirnya terjadi gangguan metabolisme. 2
Luka bakar pertama kali menyebabkan syok karena kaget dan kesakitan. Pembuluh kapiler yang terpajan suhu tinggi rusak dan permeabilitas meninggi. Sel darah yang ada di dalamnya ikut rusak sehingga dapat terjadi anemia. Meningkatnya permeabilitas menyebabkan edema dan menimbulkan bulla dengan membawa serta elektrolit. Hal ini menyebabkan berkurangnya volume cairan intravaskuler. 1,6
Telah disebutkan diatas bahwa luka bakar mempunyai 3 fase dimana masing masing fase memiliki proses perjalanan penyakit yang masing-masing berbeda.
Fase awal berupa cedera inhalasi (gangguan saluran pernapasan), gangguan mekanisme bernapas, gangguan sirkulasi (keseimbangan cairan elektrolit, syok hipovolemia). Cedera inhalasi menjelaskan perubahan mukosa saluran napas akibat adanya paparan berupa iritan dan menimbulkan manifestasi klinik dengan gejala distress pernapasan. Reaksi yang timbul berupa inflamasi akut dengan edema dan hipersekresi mukosa saluran napas. Edema mukosa masif di saluran napas bagian atas menyebabkan obstruksi lumen sehingga menyebabkan sumbatan total saluran napas. Mekanisme obstruksi yang lain disebabkan oleh percampuran epitel mukosa yang nekrosis dengan sekret kental yang mengadung banyak fibrin.Inflamasi pada saluran napas bagian bawah berhubungan dengan peranan sitokin dan radikal bebas. Inflamasi yang terjadi menyebabkan lokalisasi netrofil dan leukosit PMN. Fibrin yang menumpuk pada mukosa alveoli membentuk membran hialin yang mengakibatkan gangguan difusi dan perfusi oksigen sehingga menyebabkan ARDS. 1
Terjadinya gangguan mekanisme bernapas berhubungan dengan adanya eskar yang melingkar di permukaan rongga toraks yang menyebabkan gangguan ekspansi rongga thoraks pada saat inspirasi.1
Perubahan yang lain juga berupa perubahan bentuk sel-sel endotel kapiler (epitel tunika intima) akibat perubahan tekanan hidrostatik dan onkotik di ruang intravaskuler. Terjadi ekspansi cairan intravaskuler, plasma (protein) elektrolit ke ruang intersisiel. Terjadi penimbunan cairan di jaringan intersisiel sehingga keseimbangan tekanan hidrostatik dan onkotik terganggu dan juga menyebabkan gangguan perfusi metabolisme seluler (syok jaringan). 1,7
Vasokonstriksi perifer luas akan meyebabkan berbagai gangguan berupa Systemic Inflamatory Respone Syndrome (SIRS) dan Multi-system Organ Dysfunction Syndrome (MODS). Gangguan ini terjadi didahului oleh terjadinya nekrosis sehingga terjadi pelepasan toksin (burn toxin, suatu lipid protein kompleks). Organ yang terlibat dalam hal ini adalah hepar, saluran cerna bagian atas (gaster,duodenum), ginjal, dan otot. 1,2
SIRS ditandai dengan gejala berupa ditemukannya dua atau lebih gejala berikut ; Suhu lebih dari 380C atau kurang dari 360C, takikardi, takipnu, dan jumlah leukosit lebih dari 12.000 sel per mm2 atau kurang dari 4.000 sel per mm3 atau > 10 bentuk immatur 1
Gejala kegagalan sirkulasi yang terjadi di otak berupa disorientasi, gelisah, dan penurunan kesadaran. Sedangkan akibat konstriksi pembuluh perifer menyebabkan penurunan suhu core dan permukaan, urine dan gangguan sistem pencernanan. Gejala kompensasi yang dapat diamati adalah pernapasan yang cepat dan dangkal, palpitasi dan takikardi.1
Cedera panas menyebabkan kerusakan pada jaringan dapat dibedakan atas:
1. Zona koagulasi : daerah yang langsung mengalami kontak dengan sumber panas, berlokasi pada daerah sentral luka bakar yang mengalami nekrosis karena lamanya terpajan. Sel-sel di daerah ini mengalami kontak yang paling dekat dengan sumber panas.
2. Zona statis: daerah dimana terjadi "no flow phenomena" oleh karena adanya perubahan atau kerusakan endotel, trombosit dan leukosit di pembuluh kapiler yang menyebabkan gangguan sirkulasi mikro dan perfusi ke sel atau jaringan. Daerah ini dapat selamat pada kondisi yang ideal, tetapi sering nekrosis dalam 24-¬48 jam setelah kejadian.
3. Zona hiperemi : daerah yang mengalami vasodilatasi, gangguan permeabilitas kapiler, edema dan distribusi sel radang akut. Daerah ini umumnya tidak beresiko tinggi untuk terjadi nekrosis.1,2,3,7
Klasifikasi Luka Bakar (1.2,7)
Berdasarkan kedalaman kerusakan jaringan :
1. Luka bakar derajat I
Kerusakan terbatas pada lapisan epidermis (superfisial). tampak kulit kering, hiperemis berupa eritema, tidak dijumpai bulla, terasa nyeri. Penyembuhan terjadi secara spontan dalam 5-10 hari.
2. Luka bakar derajat II
Kerusakan meliputi epidermis dan sebagian dermis, berupa reaksi inflamasi disertai proses eksudasi. Dijumpai bulla, terasa nyeri, dasar luka berwarna merah atau pucat, sering terletak lebih tinggi di atas kulit normal.
Derajat II dangkal (superficial) ; Mengenai bagian superfisial dermis. Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea masih utuh, penyembuhan terjadi secara spontan dalam waktu 10-14 hari.
Deraiat II dalam (deep) ; mengenai hampir seluruh bagian dermis. Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea, sebagian masih utuh. Penyembuhan biasanya dalam waktu lebih dari satu bulan.
3. Luka bakar derajat III
Meliputi seluruh tebal dermis dan lapisan yang lebih dalam. Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea mengalami kerusakan. Tidak dijumpai bulla, kulit yang terbakar barwarna abu-abu dan pucat. Karena kering, letaknya lebih rendah dibandingkan dengan kulit sekitar. Terjadi koagulasi protein pada epidermis dan dermis yang dikenal sebagai eskar. Tidak dijumpai rasa nyeri dan hilang sensasi. Penyembuhan terjadi lama karena tidak ada proses epitelisasi spontan dari dasar luka, tepi luka, maupun apendiks kulit.

Luas Luka Bakar (1,2,6)
Luasnya luka bakar dinyatakan dalam persen terhadap luas seluruh tubuh. Pada orang dewasa digunakan rule of nine dari Wallace, yaitu kepala dan leher, dada, punggung & perut, pinggang dan bokong, ekstremitas atas kanan, ekstremitas atas kiri, paha kanan, paha kiri, tungkai dan kaki kanan serta tungkai dan kaki kiri masing-masing 9% sisanya 1% pada daerah genitalia. Sedangkan pada bayi digunakan rumus 10 dan pada anak digunakan rumus 10-15-20. Untuk anak kepala dan leher 15% badan depan dan belakang masing-masing 20 %, ekstremitas atas kanan dan kiri masing-masing 10%, ekstremitas bawah kanan dan kiri masing-masing 15 %. telapak tangan penderita dianggap 1 %.

Resusitasi (1,5,7)
Sebelum menangani resusitasi pada luka bakar, maka perlu untuk diketahui mengenai anatomi cairan tubuh. Secara garis besar cairan tubuh terbagi atas 3 yaitu cairan intraseluler (40%), cairan ektraseluler (20%), dan cairan transeluler (2%). Cairan ektraseluler terbagi atas cairan interstisial 15% dan intravaskuler 5 %. Cairan yang digunakan untuk resusitasi dikenal ada 3 kelompok besar yaitu larutan Hipertonik (Gelofusin, Dextran, dll), Isotonik (RL, NaCL 0,9%) dan Hipotonik. (Dex 5%, ½ DAD, dll)

Resusitasi cairan bertujuan mengupayakan sirkulasi yang dapat menjamin kelangsungan perfusi, sehingga oksigenasi jaringan terpelihara. Dengan demikian, dapat mencegah kerusakan yang lebih lanjut
Secara umum, masalah yang sering timbul berkenaan dengan resusitasi cairan ini terutama menyangkut beberapa hal, antara lain menentukan jenis cairan yang diberikan dan menentukan jumlah kebutuhan cairan.
Ada dua jenis cairan yang umum digunakan dalam prosedur resusitasi, yaitu koloid dan kristaloid.
Pada kasus luka bakar, terjadi kehilangan cairan di kompar¬temen intersisiel secara masif dan bermakna, sehingga dalam 24 jam pertama resusitasi dilakukan dengan pemberian cairan kristaloid.

Berdasarkan kondisi volume cairan pada kedua kompartemen dengan berbagai kondisi klinik sebagaimana digambarkan pada diagram di atas dapat ditentukan jenis cairan yang diperlukan untuk resusitasi.
Kristaloid merupakan cairan isotonik yang aman dan efektif digunakan untuk tujuan resusitasi kasus hipovolemia, karena cairan ini memiliki osmolaritas sesuai dengan cairan tubuh dan tidak mempengaruhi efek osmotik cairan, dan cenderung meninggalkan kompartemen intravaskular (mengisi kompartemen intersisiel).
Berdasarkan hal tersebut, maka partisi cairan dan kadar elektrolitnya serupa dengan cairan tubuh 75% cairan ektravaskuler dan 25% cairan intravaskuler. Sehingga secara prinsipil, cairan. kristaloid digunakan untuk melakukan resusitasi cairan pada kompartemen ekstravaskuler.
Cairan koloid adalah larutan dengan berat molekul tinggi, sehingga mempengaruhi efek osmotiknya. Karena sifat semipermeabilitas kapiler, maka koloid cenderung untuk tetap berada di dalam kompartemen intravaskuler; oleh karenanya hanya sejumlah kecil koloid diperlukan dalam memelihara volume cairan di kompartemen intravaskuler. Sehingga, secara prinsipil, cairan koloid ditujukan untuk melakukan resusitasi cairan pada kompartemen intravaskuler.
Nacl 0.9% adalah satu-satunya jenis cairan isotonik yang dapat diberikan bersama-sama dengan darah. Prosedur resusitasi menggunakan cairan ini menyebabkan kondisi hipernatremia dan asidosis metabolik hiperkloremik. Ringer's Lactate (RL) merupakan cairan isotonik yang lebih bersifat fisiologik karena mengandung komposisi elektrolit. Laktat yang dikandungnya bersifat basa, sehingga tidak akan menyebabkan asidosis ; dikonversi secara cepat ke bentuk bikarbonat di hepar (kecuali pada kasus-kasus dengan disfungsi hepatik).
Berdasarkan defisit volume kompartemen tersebut di atas, maka diperoleh patokan umum untuk melakukan resusitasi cairan pada beberapa kondisi klinik seperti diare, proses hemoragik, SIRS (sepsis, trauma, pankreatitis, pasca bedah), dan luka bakar. Namun yang akan lebih dibahas disini adalah mengenai luka bakar.
Pada SIRS (sepsis, trauma, pankreatitis dan pasca bedah), akibat adanya kebocoran kapilar dan hilangnya cairan pada rongga ketiga terjadi penurunan efektif volume di kompartemen cairan intravaskuler disertai edema (peningkatan volume di kompartemen intersisiel). Karena kurang dari 20% cairan kristaloid (yang diberikan melalui infus) dipertahankan di kompartemen intravaskular, maka pemberian cairan kristaloid harus dibatasi (karena akan meningkatkan volume di kompartemen intersisiel, edema bertambah). Cairan koloid seperti Hydroxyethyl Starch (HES) dilaporkan bermanfaat pada kondisi-kondisi SIRS ini.
Penatalaksanaan resusitasi cairan pada luka bakar dilakukan berdasarkan manifestasi klinik dari suatu trauma. Metode dan kebutuhan cairan akan berbeda pada setiap kondisi; pada kondisi syok tentunya berbeda dengan kondisi dimana tidak dijumpai syok. Secara umum dalam melakukan resusitasi pada luka bakar ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mencapai keberhasilan terapi, yaitu permasalahan yang terjadi pada pasien seperti syok, cedera inhalasi, derajat dan luas luka bakar, berat badan pasien, metode pemberian cairan; jumlah cairan, jenis cairan dan pemantauan yang dilakukan, informasi mengenai fungsi organ-organ penting (ginjal, paru, jantung, hepar dan saluran cerna) dan penggunaan obat-obatan yang rasional.
Metode resusitasi dan regimen terapi cairan yang dikenal selama ini merupakan cara atau usaha untuk memperoleh pengetahuan atau gambaran mengenai jumlah kebutuhan cairan dengan hitungan yang tegas; namun bukan suatu patokan yang memiliki nilai mutlak karena pemberian cairan sebenarnya berdasarkan kebutuhan sirkulasi yang dinamik dari waktu ke waktu dan harus dipantau melalui parameter-parameter tertentu. Dikenal dua regimen yang dianut beberapa tahun terakhir, yaitu regimen (formula) Evans-Brooke dan regimen (formula) Baxter/ Parkland.
Formula Evans-Brooke
Evans dan Brooke memberikan larutan fisiologik, koloid dan glukosa dalam resusitasi. Ketiga jenis cairan ini diberikan dalam waktu dua puluh empat jam pertama. Dasar pemikirannya adalah, bahwa pada luka bakar, dijumpai inefiktifitas hemoglobin dalam menyelenggarakan proses oksigenasi. Disamping itu terjadi ke¬hilangan energi yang mempengaruhi proses penyembuhan. Untuk itu diperlukan darah yang efektif dan asupan energi dalam bentuk glukosa.
Jumlah cairan diberikan dengan memperhitungkan luas per¬mukaan luka bakar dan berat badan pasien (dalam kilogram). Hari pertama, separuh jumlah kebutuhan cairan diberikan dalam delapan jam pertama, sisanya diberikan dalam enam belas jam sisa. Jumlah cairan yang dibutuhkan pada hari pertama adalah sebagaimana tercantum dalam tabel dibawah ini

Formula Evans :
1ml/kgBB/ %LB koloid (darah)
lml/kgBB / %LB larutan saline (elektrolit)
2000ml glukosa
Pemantauan : Diuresis (>50 ml/jam)

Formula Brooke :
0.5ml/kgBB/%LB koloid (darah)
1.5ml/kgBB/%LB larutan saline (elektrolit)
2000ml glukosa
Pemantauan : Diuresis (30-50 ml/jam)

Pada hari kedua, diberikan separuh jumlah kebutuhan koloid (darah) dan larutan saline ditambah 2000 m1 glukosa; pemberian merata dalam 24 jam.

Formula Baxter/Parkland
Parkland berpendapat, bahwa syok yang terjadi pada kasus luka bakar adalah jenis hipovolemia, yang hanya membutuhkan peng¬gantian cairan (yaitu kristaloid). Penurunan efektifitas hemoglobin yang terjadi disebabkan perlekatan eritrosit, trombosit, lekosit dan komponen sel lainnya pada dinding pembuluh darah (endotel). Sementara dijumpai gangguan permeabilitas kapilar dan terjadi kebocoran plasma, pemberian koloid ini sudah barang tentu tidak akan efektif bahkan menyebabkan penarikan cairan ke jaringan interstisiel; menyebabkan akumulasi cairan yang akan sangat sulit ditarik kembali ke rongga intravaskular. Hal tersebut akan me¬nambah beban jaringan dan 'menyuburkan' reaksi inflamasi di jaringan; serta menambah beban organ seperti jantung, paru dan ginjal.
Berdasarkan alasan tersebut, maka Parkland hanya memberi¬kan larutan Ringer's Lactate (RL) yang diperkaya dengan elektrolit. Sedangkan koloid/plasma, bila diperlukan, diberikan setelah sirkulasi mengalami pemulihan (>24-36jam).
Menurut Baxter dan Parkland, pada kondisi syok hipovolemia yang dibutuhkan adalah mengganti cairan; dalam hal ini cairan vang diperlukan adalah larutan fisiologik (mengandung elektrolit). Oleh karenanya mereka hanya mengandalkan larutan (RL) untuk resusitasi. Dan ternyata pemberian cairan RL ini sudah men¬cukupi, bahkan mengurangi kebutuhan akan transfusi.
Hari pertama, separuh jumlah kebutuhan cairan diberikan dalam delapan jam pertama, sisanya diberikan dalam enam belas jam kemudian. Jumlah cairan yang diperlukan pada hari pertama adalah sesuai dengan perhitungan Baxter (4 ml/kgBB), sehingga kebutuhan cairan resusitasi menurut Parkland adalah: 4ml / kgBB / %LB Ringer's lactate dengan pemantauan jumlah diuresis antara 0,5-l ml/kgBB/jam. Pada hari kedua, jumlah cairan diberikan secara merata dalam dua puluh empat jam.
Resusitasi metode Baxter / Parkland. Separuh jumlah cairan yang diperlukan diberikan dalam 8 jam pertama, sisanya dibagi dalam 16 jam berikutnya.
Resusitasi cairan pada syok (1)
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, pada kondisi syok resusitasi cairan tidak berpedoman pada regimen resusitasi cairan berdasarkan formula yang ada.
Syok merupakan suatu kondisi klinik dimana terjadi gangguan sirkulasi, yang menyebabkan gangguan perfusi dan oksigenasi sel/jaringan. Jumlah cairan yang hilang pada kondisi syok diperkirakan lebih dari 25% volume cairan tubuh; bila seorang dengan berat badan 70 kg jumlah cairan tubuhnya adalah 4.900 ml (70% dari berat badan, dibulatkan menjadi 5.000 ml) mengalami kehilangan 25% volume tersebut (kurang lebih 1.250ml), maka timbul manifestasi syok.
Gangguan perfusi ini menyebabkan sel atau jaringan meng¬alami hipoksia dan mungkin berakhir dengan nekrosis; bila hipoksia ini dibiarkan melebihi batas waktu maksimal ketahanan sel/jaringan (warm-ischaemic time). Waktu ini memang berbeda untuk setiap sel/jaringan. Diketahui bahwa sel-sel glia hanya dapat bertahan dalam kondisi hipoksik selama 4 (empat) menit; selanjutnya akan terjadi degenerasi selular yang berakhir dengan nekrosis sel. Ginjal dapat bertahan selama 8 (delapan) jam dalam kondisi hipoksik melebihi waktu tersebut akan terjadi degenerasi selular yang berakibat ATN dan berlanjut menjadi ARF. Masing-masing jaringan tubuh memiliki spesifikasi tertentu dalam hal ischaemic time ini
Dengan demikian penatalaksanaan syok yang berorientasi pada paradigma ini memerlukan tindakan resusitasi dalam waktu singkat, memperkecil kemungkinan kerusakan jaringan sehubungan dengan iscahemic time yang dijelaskan di atas.
Sampai saat ini diyakini jenis cairan yang dapat digunakan untuk melakukan resusitasi dengan baik adalah kristaloid (RL). Pemberiannya dilakukan dalam waktu cepat, menggunakan beberapa jalur intravena, bila perlu melalui vascular access (vena seksi dan sebagainya).

Resusitasi pada syok menggunakan cairan kristaloid. Tiga kali defisit cairan yang menyebabkan syok diberikan dalam 2 jam pertama. Sisa jumlah cairan yang diperhitungkan menurut metode Baxter/ Parkland diberikan berdasarkan kebutuhan sampai dengan 24 jam.
Jumlah cairan yang diberikan
Baxter memberikan pedomannya untuk menggunakan RL, tanpa risiko kelebihan cairan (overload) atau terjadinya imbalans elektrolit ; 4 ml/kg berat badan. Namun ternyata dengan dosis ini, pada anak-anak dan orang tua kelebihan cairan tetap terjadi, sehingga Artz menganjurkan pemberian sejumlah 2 ml/kg berat badan untuk anak-anak dan 3 ml/kg berat badan untuk orang tua. 1,2,6
Kebutuhan cairan meningkat dengan adanya cedera inhalasi, karena proses inflamasi eksudatif pada mukosa saluran nafas dan parenkim paru yang menyebabkan kehilangan cairan semakin bertambah . Untuk mengatasi syok, jumlah cairan yang diberikan adalah tiga kali jumlah cairan yang diperkirakan hilang. Maka, pada seorang dengan berat badan 70 kg (volume cairan tubuh 4.900m1, dibulatkan menjadi 5.000 m1) dengan syok (defisit 1.250 ml), jumlah cairan yang dibutuhkan untuk resusitasi adalah 3.750 m1 ; diberikan dalam waktu kurang dari 8 (delapan) jam (terbaik dalam 1-2 jam). Selanjutnya, setelah syok teratasi, maka pemberian cairan mengacu kepada regimen resusitasi cairan berdasarkan formula yang ada. 1
Secara umum, patokan klinik yang dipakai untuk melakukan pemantauan antara lain: Perbaikan kesadaran (perfusi ke serebral), frekuensi pernafasan dan diuresis (produksi urin per jam), kadar hemoglobin dan hematokrit, Central Venous Pressure (CVP), dan Pulmonary Artery Wedge Pressure (PWAP) yang merupakan parameter yang paling akurat dalam menggambar¬kan informasi volume cairan intravaskular; berhubungan langsung dengan tekanan pada arteri pulmonal. Nilai normal <18 mmHg. 1,7


Pemantauan diuresis pada resusitasi
Jumlah urin Keterangan
Syok 0.5 - 1 ml/kgBB/jam Perfusi inadekuat
Hari pertama-kedua 1 - 2 ml/kgBB/jam Sirkulasi stabil
Hari ketiga-keempat 3 - 4 ml/kgBB/jam Fase diuresis

Plasma 1
Sebagian klinikus berpendapat bahwa mendekati 24jam pasca trauma tubuh telah dapat menanggulangi kebocoran, oleh karena¬nya cairan apapun yang diberikan akan tetap berada di rongga intravaskular. Dalam waktu 24-36 jam pasca trauma, plasma expander dapat diberikan. Namun, sebelum 24 jam, pemberian koloid di¬anggap tidak efektif karena masih dijumpai kebocoran kapilar.

% LukaBakar Kebutuhan Plasma (ml)
Pada BB 70 Kg
20 – 40 0 – 500
40 – 60 500 – 1700
60 – 80 1000 – 3000
> 80 1500 – 3500

Pemberian mannitol menjadi alternatif dari larutan hipertonik, bila dijumpai kadar natrium dalam darah berada pada batas nilai normal. Lebih lanjut disebutkan, bahwa pemberian mannitol 20% memperbaiki perfusi ke tubulus ginjal. Berdasarkan fakta ini, pemberiannya dimungkin¬kan untuk dapat diberikan dalam 24 jam pertama.



Komplikasi
Komplikasi pada luka bakar dapat berupa SIRS, MODS, sikatriks, dan kontraktur.2,6
Gangguan sirkulasi ke berbagai organ menyebabkan kondisi¬-kondisi yang memicu timbulnya SIRS. Gangguan sirkulasi serebral menyebabkan disfungsi karena gangguan sistim autoregulasi serebral yang memberi dampak sistemik (ensefalopati). Gangguan sirkulasi ke ginjal menyebabkan iskemi ginjal (khususnya tubulus) berlanjut dengan Acute Tubular Necrosis (ATN) yang berakhir dengan gagal ginjal (acute renal failure, ARF). Gangguan sirkulasi perifer menyebabkan iskemi otot-otot dengan dampak pemecahan gliko¬protein yang meningkatkan produksi Nitric Oxyde (NO); NO ini diketahui berperan sebagai modulator sepsis. Gangguan sirkulasi ke kulit dan sistim integumen menyebabkan terutama gangguan sistim imun; karena penurunan produksi limfosit dan penurunan fungsi barrier kulit.
Kvetan dan Takala menjelaskan iskemia mukosa usus terjadi akibat vasokonstriksi splangnikus (gangguan hemostasis) pada fase syok berperan sebagai penyebab stress ulcer. Teori ini menunjang teori Harjodisastro akan temuannya mengenai iskemia mukosa serta memiliki relevansi dengan peran katekolamin dan glukagon pada kondisi stres. 1

Prognosis
Semakin berat derajat suatu luka bakar, maka prognosisnya semakin berat. Dan prognosis juga tergantung pada kecepatan dan ketepatan tindakan. 2








DAFTAR PUSTAKA

1. Moenadja, Yefta, Luka Bakar : pengetahuan Klinis Praktris, edisi kedua (revisi) Fakultas kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 2003 hal 1-65.
2. Mansjoer, A, dkk, Bedah Plastik dalam Kapita Selekta Kedokteran, edisi ketiga jilid 2, Media Aeskulapius FK UI, Jakarta 2000 hl. 367-9
3. Picture of burn patiens availabel from : http://www.shrinershq.org/research/galveston/ kramer.html ==> George C. Kramer, Ph.D
4. Amiruddin, D (ed), Anatomi kulit dalam Ilmu penyakit Kulit, Bagian Ilmu penyakit Kulit dan Kelamin FK UNHAS, Makassar 2000, hl 1-4
5. Anonim, Resusitasi cairan dan elektrolit, dalam Buku Pegangan BHD BHL bagi dokter umum se Propensi Sul-sel, Ikatan Dokter Spesiali Anestesiologi cabang Sulsel, Makassar 2000, hl 62-3
6. Sjamsuhidajat, R, de Jong, Wim (ed) Luka Bakar dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi revisi. EGC, Jakarta 1997 hl. 81-90
7. Oliver, R.I Burns, Resusitation and Early Management, availabel from http://www.emedicine.com/plastic/topic159.htm, accessed at February 25 2005.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Bagaimana bisa 70% dari BB 70 kg jadinya 4900ml? 70% dari BB 70kg itu saya dapatkan 49liter atau 49000ml.